Takhrij Hadis,
Kritik Sanad, Kritik Matan,
dan Metode
Pemahaman Hadis Nabi
Agung Karisma
Putra
Institut Agama Islam Negeri Metro
Abctrak
Tulisan ini menjelaskan mengenai takhrij
hadits, yang mana begitu penting ilmu ini untuk menambah wawasan mengenai
hadits secara menyeluruh, apa saja tujuannya, bagaimana manfaatnya, serta
metode apa saja yang digunakan. Karena itu dalam setiap hadits pasti memiliki
sandaran yaitu sanad, dalam artikel ini juga akan dijelaskan bagaimana cara
menemukan sanad yang baik pada sebuah hadits, dan seperti apa sanad hadits yang
berkualitas, lalu bagaimana para periwayatnya dan apakah ada kejanggalan atau
tidak dalam hadits tersebut. Matan dari segi bahasa artinya membelah,
mengeluarkan, mengikat. dan dari matan lah dapat diketahui apa yang sebenarnya
disampaikan oleh Rasulullah SAW. Untuk memudahkan memahami hadits, Maka matan
juga memiliki kriteria yang memenuhinya. diperlukan metode pemahaman yang tepat
agar tidak terjadi kesalahhan dalam menafsirkan hadits nabi tersebut, karena
hadits merupakan salah satu sumber hukum yang paling utama dan penting.
Kata kunci: Takhrij, sanad, matan
Abstrac
This paper explains the
Takhrij hadith, which is so important science is to increase knowledge about
the hadith as a whole, whatever its purpose, what benefits, as well as whatever
method is used. Therefore in every hadith certainly has a backrest that is
sanad, in this article also describes how to find a good sanad in a hadith, and
what kind of quality sanad hadith, then how did the narrator and whether or not
there were irregularities in the Hadith. Matan terms of language means
splitting, issuing, binding. and of honor was the one can know what is actually
delivered by the Prophet Muhammad. To facilitate understanding of the hadith,
then matan also have criteria that away. necessary understanding of appropriate
methods to prevent kesalahhan in interpreting hadith the prophet, because the
hadith is one of the main sources of law and the most important.
Keywords: Takhrij, sanad,
Matan
A.
Pendahuluan
mayoritas umat Islam sepakat bahwa sumber
dari ajaran agama Islam adalah al-Qur’an dan hadis. Sebagai sumber pokok dari ajara agama islam keduanya
tidak boleh disangsikan akan kebenarannya, Hadits adalah segala bentuk
perbuatan, ucapan, tindakan, pemikiran dan ketetapan, serta persetujuan
Rasulullah SAW. Yang kemudian semua itu dijadikan salah satu acuan bagi umat
nabi Muhammad SAW. Untuk menjalankan ibadah kepada Allah SWT. Salah satu yang
dipelajari dalam ilmu hadits ialah takhrij hadis, matan dan sanad. Ketiga hal
ini merupakan komponen yang sangat penting atau yang wajib diketahui ketika
ingin mempelajari asal usul hadis. Seperti makna, apa isi dari hadits tersebut,
serta bagaimana runtutan hadits itu diperoleh. Para
ahli di bidang hadis tidak sebanyak dengan para ahli di bidang al-Qur’an. Dalam
bidang hadis, perkembangan pemikiran yang ada tidak sejalan dengan jumlah hadis
Nabi sendiri yang jumlahnya berlipat ratusan kali lebih banyak dari jumlah ayat
al-Qur‘an.
Berkat usaha dan kerja keras para alim ulama tersebut, maka
hadist-hadist Nabi telah berhasil dikumpulkan dan dibukukan menjadi khazanah
yang sayangt berharga bagi umat Islam di dunia. Tokoh-tokoh yang sangat berjasa
dalam melakukan usaha mulia serta terpuji tersebut di antaranya adalah
Al-Turmuzi, Al-Bukahri, Muslim, Al-Darimi dan lain sebagainya. Walaupun
hadist-hadist Nabi telah dibukukan oleh para penulisnya, yang sudah lengkap
serta baik matan maupun sanadnya. pada kenyataanya pada kehidupan saat ini
banyak sekali kita temui baik dalam media ceramah maupun bentuk tulisan. Masih
sangat banyak hadist-hadist yang tampa identitas (tidak disebutkan rawi serta
kualitasnya) Terkadang hanya disebutkan potongannya saja tanpa disebutkan rawi
pertamanya. Dalam hal ini tentu saja tidak begitu meyakinkan, apalagi kalau
hadist yang dilafalka maupun ditulis berkenaan dengan masalah akidah maupun ibadah.
Menurut Mahmud al-Thahhan: Takhrij
adalah (usaha) menunjukkan letak asal hadist pada sumber- sumbernya yang asli
yang didalamnya telah dicantumkan sanad hadist tersebut (secara lengkap), serta
menjelaskan kualitas hadist tersebut jika kolekter
memandang perlu.
Menurut
bahasa artinya “ sandaran, tempat bersandar, yang menjadi sandaran (al
mu’tamad) atau yang bisa dijadikan pegangan atau sesuatu yang terangkat
(tinggi) dari tanah. Sedangkan Matan dari segi bahasa artinya membelah,
mengeluarkan, mengikat, menurut istilah matan adalah ujung sanad atau materi
dari hadis atau lafal hadits itu sendiri.
B.
Metode Penelitian
Penelitian ini
merupakan penelitian kualitatif, yang berupa penelitian tentang sebuah subjek
secara menyeluruh dan mendalam. Penelitian ini juga dilakukan untuk memahami
dan menafsirkan makna takhrij hadis, sanad, matan, serta metode pemahaman hadis
Nabi. Agar menambah wawasan bagi pembacanya, terutama para pelajar yang ingin
menambah wawasannya akan ilmu hadis, yang mana hadis merupakan salah satu sumber
ajaran poko agama islam. Data-data ini dikumpulkan dengan teknik bedah buku,
buku yang diambil dari berbagi sumber. Data-data ini dianalisis sesuai dengan
apa yang ingin disampaikan. Sehingga dapat menghasilkan pengetahuan yang luas
bagi banyak kalangan, terutama bagi para pelajar-pelajar yang ingin menambah
wawasannya mengenai ilmu hadits.
C.
Pembahasan
1.
Takhrij Hadits
Jika kritik itu berarti upaya maka untuk
membedakan antara yang benar dengan yang salah, maka dapat dikatakan bahwa
kritik telah di mulai pada masa hidup Nabi. Tapi pada masa itu juga, istilah
ini hanya berarti, pergi untuk menemui Nabi guna untuk membuktikan sesuatu yang
dilaporkan telah dikatakan beliau. “Sesungguhnya, pada tahap ini ia merupakan
proses konsolidasi dengan tujuan agar kaum muslimin merasa tentram sebagaimana
di paparkan oleh al-Qur’an dalam kasus
Nabi Ibrahim a.s”.[1]
Kemuncukan takhrij hadits menurut
al-Tahhan, hal itu terkait dengan konsep sejarah yang membentang dari proses
perkembangan ilmu hadits itu sendiri. Para ulama hadis yang tergolong mutaqaddimin
belum mempergunakan kaidah-kaidah dari metode takhrij al-hadis. Karena
pengetahuan mereka yang sangat luas dan pengaruh tradisi hafalan yang kuat
terhadap sumber-sumber hadis atau sunnah Nabi[2].
Sedangkan arti dari takhrij hadits Menurut
Mahmud al-Thahhan: Takhrij adalah (usaha) menunjukkan letak asal hadist pada
sumber- sumbernya yang asli yang didalamnya telah dicantumkan sanad hadist
tersebut (secara lengkap), serta menjelaskan kualitas hadist tersebut jika kolekter
memandang perlu.[3]
Menurut Nawir Yuslem: Hakekat takhrij
adalah penelusuran atau pencaraian hadist pada berbagai kitab
hadist sebagai sumbernya yang asli yang didalamnya
dikemukakan secara lengkap matan dan sanad Hadist.
Menurut M. Syuhudi Isma’il: Takhrij
Alhadist adalah penelusuran atau pencaraian Hadist pada berbagai
kitab sumber asli dari hadist yang bersangkutan, yang
didalam seumber itu dikemukakan secara lengkap matandan sanad hadist yang
bersangkutan.
Dari defenisi-defenisi diatas dapat
disimpulkan bahwa takhrij hadist adalah usaha untuk menemukan matan dan
sanad hadist secara lengkap, dari sumber-sumbernya
yang asli. maka dari situlah akan bisa diketahui kualitas suatu hadist.
Takhrij hadits pula memiliki beberapa tujuan yang sangat penting
diantaranya yaitu : a) untuk menunjukkan sumber hadist-hadist dan menerangkan
diterima atau ditolaknya hadist-hadist
tersebut, b) Dengan takhrij hadits yang shohih, maka akan dapat
mengangkat hadits dhaif yang masih ada kaitannya dengan hadits yang shahih, c) Untuk
mengumpulkan sanad dan matan hadits, sehingga akan diketahui sumber sumber
hukum asli beserta periwayatnya, d) Dengan takhrij pun akan dapat memperjelas
perawi hadits yang samar. Contohnya seperti apakah perawi itu jelas
identitasnya, dan apakah perawi itu adil
atau tidak, dan d) Dengan adanya hadits maka
akan dapat memperjelas hukum hadits dengan banyak riwayatnya.
Dari
beberapa hal yang disampaikan diatas dapat diketahui bahwa takhrij hadits
memiliki bnyaki sekali manfaat sehingga memberikan pengetahuan yang luas bagi
orang-orang ingin mendalami ilmu tentang takhrij hadits.
Sedangkan manfaat takhrij secara simple
adalah (a) Dapat mengumpulkan berbagai sanad suatu hadist dan (b) Dapat
mengumpulkan berbagai redaksi matan hadist. Apabila dirinci maka ada 20
manfa’at takhrij hadist, sebagai berikut:
1. Dengan melakukan takhrij dapat diketahui sumber-sumber asli suatu
hadist serta ulama yang meriwayatkannya.
2. Takhrij dapat menambah perbendaharaan sanad hadist-hadist melalui
kitab-kitab yang ditunjukinya. Semakin banyak kitab-kitab asal yang memuat
suatu hadist, semakin banyak pula perbendaharaan sanad yang dimiliki.
3. Takhrij dapat memperjelas keadaan sanad. Dengan membandingkan
riwayat-riwayat hadist yang banyak itu maka dapat diketahui apakah riwayat
tersebut mungathi’, maudhu’, dan lain-lian, serta dapat diketahui apakah
riwayat tersebut shahih, dha’if dan sebagainya.
4. Takhrij memperjelas hukum hadist dengan banyak riwayatnya itu.
Terkadang didapati suatu Hadist dha’if melaiui suatu riwayat, namun dengan
takhrij kemungkinan kita akan mendapati riwayat lain yang shahih.hadist yang
shahih itu akan mengangkat hukum atau kualitas hadist dha’if tersebut kederajat
yang lebih tinggi.
5. Dengan takhrij dapat diketahui pendapat-pendapat para ulama
tentang kualitas suatu hadist.
6. Takhrij dapat memperjelas perawih hadist yang samar. Umpamanya
didapatkan seorang perawi yang belum ada kejelasan identitasnya. Dengan adanya
takhrij kemungkinan akan dapat diketahui nama atau identita perawinya secara
lengkap.
7. Takhrij dapat memperjelas perawi hadist yang tidak diketahui nama
(sebenarnya) nya melaui perbandingan diantara sanad-sanad
8. Takjhrij dapat menafikan pemakaian dalam periwayatan hadist oleh
seorang perawi Mudallis.[4] Dengan didapatinya sanad yang lain yang memakai kata yang jelas
ketersambungan sanadnya, makaperiwayatan yang memakai tadi akan nampak pula
ketersambungannya.
9. Takhrij dapat menghilangkan kemungkinan terjadinya percampuran
periwayatan.
10. Takhrij dapat membatasi nama perawi yang sebenarnya. Hal ini
karena mungkinan saja ada perawi-perawi yang mempunyai kesamaan gelar. Dengan
adanya sanad yang lain maka nama perawi itu akan menjadi jelas.
11. Takhrij dapat memperkenalkan periwayatan yang tidak terdapat dalam
satu sanad.
12. Takhrij dapat memperjelas arti kalimat yang asing yang terdapat
dalam satu sanad.
13. Takhrij dapat menghilangkan hukum syadz (kesendirian riwayat yang
menyalahi riwayat tsiqat) yang terdapat pada suatu hadist melalui perbandingan
riwayat.
14. Takhrij dapat membedakan hadist yang mudraj (yang mengalami
penyupan sesuatu sesuatu) dari yang lainnya.
15. Takhrij dapat mengungkapkan keragu-raguan dan kekeliruan yang
dialami oleh seorang perawi.
16. Takhrij dapat mengungkapkan hal-hal yang terIupakan atau diringkas
oleh seorang rawi
17. Takhrij dapat membedakan antara proses periwayatan yang dilakukan
dengan lafazh dengan yang diriwayatkan dengan makna.
18. Takhrij dapat menjelaskan masa dan tempat kejadian munculnya
hadist.
19. Takhrij dapat menjelaskan sebab-sebab munculnya hadist, dengan
cara membandingkan sanad-sanad yang ada.
20. Takhrij dapat mengungkapkan kemungkian terjadinya kesalahan
percetakan dengan melalui perbandingan sanad-sanad yang ada.[5]
Pada
zaman dahulu, bagi para ulama dan peneliti terdahulu memiliki pengetahuan yang
luas dan baik, karena pengetahuan yang mereka miliki sangatlah luas dan kuat
hubungannya dengan sumber hadits itu sendiri, shingga para ulama dan peneliti
terdahulu tidak memerlukan buku-buku takhrij seperti saat ini. Karena
pengetahuan mereka itulah mereka dapat membuktikan keshahihan sebuah hadits
itu, serta dapat menjelaskan kitab-kitab yang menjadi sumbernya, bahkan selain
dari itu, para ulama dan peneliti terdahulu dapat mengetahui metode dan
cara-cara penyususnan kitab-kitab tesebut. Takhrij hadis ini muncul karena saat
berkembangnya ilmu fiqh, tafsir dan sejarah, para ulama tersebut terkadang
tidak menyebutkan sumber hadits yang mereka ambil. Dalam
melakukan takhrij, ada lima metode[6] yang bisa dipakai yaitu:
1)
Takhrij melalui lafal yang
terdapat dalam matan hadist.
2)
Takhrij melalui lafal
pertama matan hadist.
3)
Takhrij melalui periwayat
pertama (sanad pada tingkat sahabat)
4)
Takhrij melalui tema-tema
hadist.
5)
Takhrij melalui klasifikasi
jenis hadist.
2.
Kritik Sanad
Sanad adalah “jalur matan”, yaitu
rangkaian para perawi yang memindahkan matan dari sumber primer-nya. Jalur itu disebut sanad adakalanya karena
periwayat bersandar kepadanya, dalam menisbatkan matan kepada sumbernya.
Dan adakalanya karena para hafizh bertumpu kepada “periwayat” dalam
mengetahui kualitas suatu hadits[7]
Disinilah letak urgensinya sanad hadis,
sebab tanpa adanya sanad setiap oang mungkin akan mengaku dirinya pernah bertemu dengan nabi saw.
Karena itulah, tepat sekali ucapan Abdullah bin Al-Mubarak (181 H), sistem
sanad hadis merupakan bagian tak terpisahkan dari agama Islam. Sebab tanpa
adanya sistem sanad setiap orang dapat mengatakan apa yang dikehendakinya. Maka
sejak saat itu, para ulama hadis bersepakat untuk membuat
persyaratan-persyaratan yang sangat ketat untuk rawi-rawi yang dapat diterima
hadisnya, disamping kriteria-kriteria teks hadis yang dapat dijadikan sebagi
sumber ajaran Islam.[8]
Muhammad bin Sirin (w.110 H) yang
menyatakan : “Sesungguhnya pengetahuan hadis adalah agama, maka perhatikanlah
dari siapa kamu mengambil agamamu itu”. Ada pula Abdullâh bin al-Mubârak (w.181 H), seorang ahli
hadis terkemuka yang berkata: “Sanad hadis merupakan bagian dari agama.
Sekiranya sanad hadis tidak ada, niscaya siapa saja akan bebas menyatakan apa
yang dikehendakinya”.[9]
Kata ini digunakan dalam istilah ilmu
hadis karena makna sanad secara bahasa dipandang sama dengan perbuatan para
perawi hadis atau para ulama hadis itu sendiri. Ada juga kata lain yang
mempunyai makna yang hampir sama dengan sanad, yaitu isnad. Isnad
adalah mengangkat suatu hadis kepada sumber yang meriwayatkannya. Artinya
menjelaskan sanad dalam periwayatan suatu hadis. Tetapi saat prakteknya,
penggunaan kedua istilah ini dalam suatu pengertian sering kali terjadi.
Di smaping kata isnad, kata thariq
(jalan) dan juga wajh terkadang juga sering dipakai untuk
menggantikan istilah sanad, sebagaimana ditemukan pada perkataan sebahagian ulama
hadis: Hadis ini sampai kepada kami melalui jalan atau wajh ini. Sistem sanad
merupakan keistimewaan tersendiri dan juga suatu yang spesifik bagi umat Islam,
karena umat-umat sebelumnya tidak memiliki sistem periwayatan seperti ini.
Mengenai keadaan ini.
Karena itu
juga, seandainya jika umat Islam tidak memiliki sistem sanad, tentu
ajaran-ajaran Rasulullah saw yang terdapat didalam hadis-hadis beliau sudah
pasti mengalami nasib seperti ajaran para Nabi sebelumnya. Sanadlah yang
menjadi pilar utama didalam pemeliharaan kelanggengan kemurnian kemurnian
(kesucian) sumber kedua ajaran Islam. Disinilah letak nilai dan urgensi sanad[10].
Mengingat tingginya nilai dan urgensi
sanad, dengan demikian para ulama menganggap pemakaian sanad merupakan simbol
dari umat Islam, seperti dikatakan oleh Muhammad ibn Sirin (w. 110 H) bahwa
“Sesungguhnya pengetahuan hadis adalah agama, maka perhatikanlah dari siapa
kamu mengambil agamamu itu”. Abdullah ibn Mubarak (w. 181 H ) menyatakan “Sanad
merupakan bagian dari umat Islam. Tanpa adanya sanad, setiap orang dapat
mengatakan apapun yang dikehendakinya”. Sementara Sufyan al-Tsawri menyatakan
bahwa sanad merupakan senjata bagi umat Islam, jika tidak ada senjata di tangan
mereka, maka bagaimana mereka akan berperang. Keistimewaan Islam dalam
penggunaan sistem sanad ini juga diakui oleh Sprenger, orientalis Jerman,
seperti ditulisnya pada pengantar Kitab al-Ishabah fi Tamyiz alShahabah
karya Ibn Hajar al-‘Asqalani, cetakan Kalkuta (1853-1864): “Tidak ada atupun
dari bangsa-bangsa terdahulu dan juga pada bangsa-bangsa sekarang yang
menghasilkan karya seperti Ilmu Asma’ Rijal (Ilmu yang memuat biografi
para perawi hadis) seperti disusun oleh umat Islam dalam ilmu yang agung ini.
Ilmu ini memuat informasi dan hal ihwal sekitar 500.000 perawi hadis”.
Sanad akan lebih tampak menonjol apabila
perhatian diarahkan kepada para perawi yang membentuk sanad itu sendiri. Karena
dengan adanya penelitian sanad akan dapat diketahui apakah silsilah
periwayatannya bersambung, sampai kepada Nabi atau tidak. Juga bisa diketahui
apakah pemberitaan dari mereka dapat dipertanggungjawabkan, yang pada akhirnya
akan dapat diketahu nilai hadis yang diriwayatkan; apakah shahih, dha’if ,
hasan, atau bahkan mawdhu’. Urgensi inilah yang ditegaskan Imam al-Syafi’i
bahwa seseorang yang mencari hadis dengan tidak mempedulikan sanad-nya seperti
seseorang yang mencari kayu bakar di malam hari. Dia tidak akan tahu apa yang
ada diambilnya; apakah kayu bakar atau ular[11].
Sanad mengandung dua bagian yang sangat
penting, yaitu nama-nama periwayatnya dan lambang-lambang. periwayatan hadis
yang telah digunakan oleh masing-masing periwayat dalam meriwayatkan hadis.
Para ulama hadis berpendapat akan pentingnya kedudukan sanad itu sendiri dalam
riwayat hadis. Oleh karena itu, suatu berita yang dinyatakan sebagai hadits
Nabi oleh seseorang, tetapi tidak memiliki sanad sama sekali, dinyatakan
sebagai hadits palsu (maudlu’).[12]
Kaidah yang dipakai untuk penelitian
hadits itu sendiri, sebenarnya sudah ada sejak lahirnya hadis itu sendiri. Hal ini terbukti dengan adanya
selektifitas para sahabat-ahabat nabi dalam menerima informasi hadits yang
tidak diterimanya secara langsung dari Nabi saw. dengan cara mengecek ulang
kebenaran informasi kepada Nabi saw. Pada tahab selanjutnya, para ulama lebih
memperjelas kaedah tersebut dan menerapkannya kepada hadits yang mereka teliti
dan mereka riwayatkan. Kaedah tersebut kemudian disempurnakan oleh para alim
ulama sesudahnya sehingga kaedah tersebut nantinya akan berlaku sampai
sekarang. Salah seorang ulama hadits yang berhasil menyusun kaedah kesahihan
hadits adalah Ibn al-Shalah. Dia mengatakan bahwa hadits sahih adalah hadits
yang bersambung sanadnya (sampai kepada Nabi), diriwayatkan oleh (periwayat)
yang ‘adil dan dabit sampai akhir sanad, (di dalam hadits itu)
tidak terdapat kejanggalan syuzuz dan cacat „illah.[13]
Dari definisi di atas, unsur-unsur kesahihan sanad adalah sebagai
berikut:
a. sanad hadits harus bersambung dari mukharrij-nya sampai
kepada Nabi saw.
b. seluruh periwayat dalam hadis harus bersifat ‘adil
c. sanad dan matan-nya terhindar dari kejanggalan (syuzuz)
Lalu apakah pada masa sahabat, ketika
sanad itu belum terlalu panjang. Sangat penting untuk diketahui terlebih
dahulu, bahwa penelitan sanad pada masa awal Islam atau periode sahabat, sangat
berbeda dengan penelitian-penelitian sanad pada zaman sekarang ini. Bila
dilihat sekarang seorang peneliti harus menelusuri biografi dan penilaian para
ulama terhadap seorang perawi ke dalam berbagai kitab mabâqât dan tarâjim (kitab biografi).
maka pada saat masa periode sahabat
hal-hal seperti itu tidak dapat dilakukan. Karena terdapat beberapa sebabnya,
diantaranya adalah
a.
bahwa kitab-kitab biografi
baru muncul pada sekitar abad ke-2 H, jauh setelah masa periode sahabat
berakhir.
b.
Karena materi-materi hadis
yang baru terdistribusi di antara para sahabat dan sangat sedikit dari para
tabiin, karena para sahabat yang semuanya memiliki sifat‘âdil (bermoral
tinggi). Sehingga penelitian sanad pada masa itu belum terlalu detail dan
tersistem seperti yang dilakuhkan pada masa saat ini.
Namun pada masa sahabat telah muncul
benih-benih kritik sanad, yang dilakukan oleh para sahabat itu sendiri.
Misalnya pada saat Umar mendengar hadis yang disampaikan oleh Ubai ibn Ka’ab. Umar
tidak langsung menerimanya, setelah para sahabat yang lain, di antaranya
Abu Yarr menyatakan telah mendengar pula hadis Nabi
tentang apa yang dikemukakan oleh Ubai tersebut barulah Umar bersedia menerima
riwayat hadis dari Ubai tersebut. Dari
sinilah dapat diketahui bahwa para sahabat, telah menggunakan beberapa cara
(metode) untuk memastikan keotentikan atau keaslian sebuah hadis. Metode seperti ini merupakan
suatu bentuk kehati-hatian para sahabat dalam menerima suatu hadis dari seorang
perawi.[14]
Untuk mengetahui seorang periwayat
mempunyai sifat dabit atau tidak, sifat adil atau tidak, juga maka
diperlukan ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil, yaitu ilmu yang membahas keadaan
para perawi dari segi diterima atau ditolaknya periwayatan mereka.[15] Dalam menentukan kapasitas kualitas dan potensi rawi tersebut,
maka akan dilaakuhkan dengan jarh dan ta’dil, banyak lafaz yang
digunakan oleh para kritikus. Lafaz-lafaz tersebut nantinta akan mengandung
pengertian khusus dan tertentu yang disesuaikan dengan kondisi rawi dalam
penilaian kritikus.
Di kalangan para ulama hadis tidak ada
kesepakatan tentang jumlah tingkatannya al-jarh wa al-ta’dil. Ada yang
membaginya menjadi 4 tingkatan seperti Ibn Abi Hatim al-Razi (w. 327 H.), Ibn
al-Salah (w. 643 H.), dan al-Nawawi (w. 676 H.), ada yang membagi menjadi 5
tingkatan seperti al-Zahabi (w. 748 H.), al-Iraqi (w. 806 H.), dan Abu Faid
al-Harawi (w. 837 H.). Dan ada juga yang membaginya menjadi 6 tingkatan,
seperti Ibn Hajar al-Asqalani (w. 852 H.) dan Jalal al-Din al-Suyuti (w. 911
H.)9 intelektualitas
seorang periwayat.
Kritik terhadap sanad dalam hal kajian hadits
ditujukan guna untuk mengetahui sisi keaslian hadits itu sendiri, sisi
keasliannya sangatlah penting agar setiap orang tidak sembarangan dalam
melakuhkan penafsirran hadits. Apakah suatu hadits memang benar-benar bersumber
dari Nabi langsung atau tidak, atau mungkin bersumber dari perkataan-perkataan
palsu yang berasal dari para perawi yang tidak diketahui keotentikannya atau
kejelasannya. Jadi, secara lebih spesifik dapat dikatakan bahwa otentitas sanad
adalah suatu yang harus atau mutlak guna untuk memahami sebuah hadits.
Pandangan seperti inilah yang harus dipegang teguh oleh para ulama hadits.
Kritik sanad lazimnya diletakkan pada lima kriteria,
yaitu:
a)
adil (integritas
periwayat)
b)
dhabith (intelektual
periwayat)
c)
muttashil (sanadnya
bersambung)
d)
ghair syadz (tidak ada
kejanggalan)
e)
ghair ‘illah (tidak ada
cacat).
Satu poin penting lagi yang harus digunakan, yaitu
periwayat dari kalangan sahabat harus adil dan diterima periwayatannya tanpa
harus melalui proses penelitian atas kepribadiannya.
3.
Kritik
Matan
Dalam bahasa Arab kritik matan biasa
disebut dengan naqd al-matn al-hadîts. Kata naqd inilah yang
kemudian diterjemahkan dengan kritik. Sedangkan kritik dalam bahasa Indonesia
bermakna menghakimi, menimbang dan membanding. Dalam bahasa umum orang
Indonesia kata “kritik” mempunyai pengertian yang tidak lekas percaya atau
jangan terlalu percaya dengan hal-hal yang blum pasti, terdapat pertimbangan
baik buruk dan tajam dalam analisis ini. Dari pembahasan kebahasan itu, maka
“kritik” dapat diartikan dengan upaya membedakan antara yang asli dengan yang
tiruan (palsu). Adapun asal kata matan
dalam bahasa Arab berarti tanah yang keras dan membukit.
Sedangkan pengertian matan adalah
kumpulan lafazh yang terbentuk makna-makna. Disamping itu matan juga biasa disebut dengan nash
atau teks hadits, letak dari matan sendiri terletak di ujung dari sanad. hal
ini menunjukkan bahwa sanad merupakan media pertanggung jawaban atas asal-usul
dari teks hadîts itu sendiri.[16]
Kritik matan hadits adalah sebuah cara
untuk mendapatkan informasi yang sebenar-benarnya dari Rasulullah saw. Serta
berfungsi juga untuk memilah mana yang benar dan mana yang bohong (palsu), yang
bisa jadi disebabkan oleh kekurang cermatnya dalam melakuhkan periwayatannya.
Kritik matan itu sendiri bukannya tidak pernah dibahas serta dilakukan sama
sekali, hanya saja kaum muslim beranggapan bahwa kritik matan ini masih jauh
dari sempurna.
Umar bin Khaththab pernah menolak sebuah
riwayat yang ia anggap bertentangan dengan Al-Qur’an. Penolakan itu berkaitan
dengan Fathimah ibn Qais, yang meriwayatkan bahwa suaminya Abu Amr bin Hafsh
keluar bersama Ali bin Abi Thalib ke Yaman. Sesampainya di sana, suaminya
mengirim utusan untuk menyampaikan talak tiga kepadanya, maka ia minta keluarga
suaminya itu untuk memberi nafkah untuknya, tapi mereka justru berkata, “Kamu
tidak berhak menerima nafkah, kecuali bila kamu hamil.” Fatimah pun datang
menghadap nabi saw. Untuk melaporkan hal tersebut. Ia berharap nabi membelanya
tapi nabi saw. Justru bersabda, “Engkau tidak berhak menerima nafkah dan
tempat tinggal.[17]
Umar menolak riwayat itu karena ia
beranggapan, bahwa riwayat itu tidak sesuai dengan apa yang telah dijelaskan
Al-Qur’an. Umar memberi keputusan bahwa perempuan yang ditalak tiga, tetap
berhak untuk mendapat nafkah dan tempat tinggal. Beliau berkata, “Kami tidak
akan meninggalkan al-qur’an dan Sunnah karena semata ada riwayat dari seorang
wanita, yang kami tidak tahu, ia menghafal riwayat tersebut atau tidak.
Aisyah salah seorang yang memiliki
kecerdasan di kalangan para sahabat, beliau juga pernah mengkritisi sebuah hadits
yang diriwayatkan Umar ibn Khaththab bahwa “orang mati itu disiksa karena
tangisan keluarganya”. Aisyah berkata, “Semoga Allah swt. memberikan rahmat
kepada Umar, karena yang dimaksud dengan hadits “seorang mayat akan disiksa
karena tangisan keluarganya” bukan seorang mukmin yang meninggal akan disiksa
karena keluarganya menangisi kematiannya. Tapi maksudnya, Allah swt. akan
menambah siksa orang kafir yang mati dan kemudian menangisi kematiannya.
Dari contoh di atas dapat kita lihat bahwa Umar dan
Aisyah tidak hanya membetulkannya tetapi juga mengkritik isinya, dengan cara
membandingkanya dengan al-qur’an, karena tidak mungkin hadits nabi akan
bertentangan dengan al-qur’an.[18]
Atas dasar inilah, para sahabat melakukan kritik matan hadits.
Para sahabat mempertanyakan bahkan sampai menolak sebuah hadits yang dianggapnya
bertentangan dengan al-qur’an. Di samping itu juga, para sahabat juga
membandingkan suatu hadits dengan hadits lainnya yang memiliki tema yang sama
pula. Ada masa dimana setelah para sahabat, kritik matan ini disempurnakan,
sampai kemudian muncul para ulama’ yang secara khusus mendalami ilmu ini atau
mendedikasikan dirinya untuk membahas permasalan-permasalahan hadits pada masa
itu dan masa selanjutnya. Para ulama’ terbagi menjadi dua yaitu ulama’ kepada
ulama’ hadîts riwayah dan dirayah, yang terakhir ini membahas
tentang hadits dari sisi teorinya yang di dalamnya juga berisi tentang hal-hal
yang berkaitan dengan kritik matan. Di antara pembahasan itu adalah musthalah
hadits yang secara khusus untuk mencakup kritik matan adalah hadits
syadz, hadits munkar, hadits mu’allal, hadits
mudhtharib, hadits mudraj, hadits maqlub, hadits maudu’ dan sebagainya.
Tolak ukur pertama yang digunakan
Aisyah dalam menilai matan hadis adalah dengan cara mengujinya, dengan
Al-Qur’an. Al-Qur’an adalah kitab suci yang telah
terjamin keasliannya (keotentikannya). Al-Qur’an menjadi sumber utama ajaran
agama Islam yang mengatur segala aspek kehidupan manusia. Al-Qur’an tidak hanya sekedar memuat petunjuk tentang hubungan
manusia dengan Tuhan, tetapi juga mengatur hubungan
manusia dengan sesamanya, serta manusia dengan alam sekitar. Bila dilihat dari segi kekuatan hukum, Al-Qur’an berada
di atas segala-galalanya. Setiap yang menyimpang apalagi bertentangan dengan Al-Qur’an bisa dipastikan bahwa ia adalah
sesuatu yang salah. Begitu juga dengan hadis,
meskipun ia sama-sama menjadi sumber ajaran Islam, akan tetapi dari segi
otoritas, hadis berada di bawah al-Qur’an.
Hal ini juga dipahami dengan sangat baik oleh Aisyah, bahwa sesuatu yang benar
pasti tidak akan bertentangan satu sama lain. Oleh
karena hal pertama yang menjadi tolak ukur yang digunakan oleh Aisyah dalam mengkritisi suatu hadis adalah menguji materi yang
terkandung dalam hadis tersebut, dengan apa yang termaktub di dalam al-Qur’an. Sehingga konsekuensi dari penggunaan
tolak ukur ini adalah hadis-hadis yang bertentangan atau menyimpang dari
ketentuan yang telah ada dalam al-Qur’an.[19]
Untuk
menentukan kesahihan suatu matan hadits, para ulama bersepakat bahwa telah
mengadakan penelitian dan kritikan secara seksama terhadap matan hadits,
sehingga mereka memberikan kriteria sebagai berikut;
a)
sempurnanya
formasi kata dalam kalimat
Kehalusan
bahasa nabi Muhammad bukan saja teruji oleh kaedah bahasa, tetapi terseleksi
terhadap pilihan kata-kata sehingga problema seksualpun beliau ungkapkan dengan
dan melalui keindahan dan kesopanan bahasa.
Ibn Hajar
al-Asqalani menyatakan setandar lemahnya suatu kata terletak pada suatu makna yang
dikandungnya. Bukan pada kata dan redaksinya. Sehingga dapat dimaklumi kalu
seorang perawi terpaksa meriwayatkan suatu hadits dengan makna, akibat
ketidakmampuan mengungkapkan kata-kata hadits tersebut, dengan baik. Kedustaan rawi akan tampak
tatkala dia mengatakan bahwa kata-kata itupun berasal darinabi
b)
kesempurnaan
makna
Makna hadits
seharusnya dan semestinya tidak bertentangan dengan potensi positip manusia dan
juga tidak bertentangan dengan ilmu
pengetahuan dan penalaran logis juga tidak sunnatullah.
Metode pemahaman hadits nabi
1.
Metode takhrij al-hadits
Jika seseorang ingin mencari suatu
riwayat hadis yang berhubungan dengan takhrij,
itu tidak semudah dengan mencari ayat-ayat Al-qur’an, berbagai kitab hadits yang sangat
banyak dan beragam. Berbeda dengan mencari ayat-ayat Al-qur’an yang termuat dalam satu mushaf utuh. Dengan penelusuran melalui
metode manual masih bisa dilakukan, apalagi dengan melibatkan kitab indeks Al-qur’ani.
Dalam konteks ini, diperlukan suatu kitab atau kamus hadits yang bisa
untuk menjadi suatu panduan praktis bagi penelusuran sanad hadits. Setelah
seseorang sudah mengenal beberapa kitab kamus hadis tersebut, langkah
selanjutnya adalah dngan mengetahui caranya, teknik atau dengan metode dalam
melakukan takhrij al-hadits,
yang juga dapat diklasifikasikan ke dalam dua macam teknik atau metode takhrij al-hadits itu sendiri. 1), metode berbasis teknologi dan informatika (IT) dengan
menggunakan CD ROM Mausu’ah
al-Hadis al-Syarif dan CD
Kitab al-Alfiyah li al-Ahadis alNabawiyyah.
Dengan cara mencari hadits-hadits yang
terdapat dalam program seperti ini akan relatif lebih mudah atau gampang,
efisien dan tentunya praktis, asalkan terlebih dahulu harus mengetahui prosedur
dan arahan-arahanya dan juga perintah-perintah digital yang terdapat dalam
program ini. 2) adalah dengan cara metode
konvensional, yang dapat disimpulkan kembali kedalam tiga model penelusuran,
Model penelusuran takhrij al-
hadits dengan melalui lafal hadis. Dalam tataran praktis takhrij
al-hadits guna untuk
mencari lafal tersebut, diperlukan beberapa kitab kamus hadis yang lengkap.
Dalam hal ini Kitab karya A.J. Wensinck yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab
dengan judul alMu‟jam al-Mufahras li Alfaz al-Hadis al-Nabawi
oleh Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi, bisa untuk dijadikan panduan. Dengan adanya
kamus hadis ini, memuat sembilan buah kitab hadis, yaitu; Sahih al-Bukhari,
Sahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan
al-Turmizi, Sunan al-Nasa’i, Sunan ibn Majah, Sunan al-Darimi, Muwatta’,
dan Musnad ibn Hanbal. Sedangkan untuk hadits-hadits yang tidak
terdapat dalam ke sembilan kitab ini, maka harus mencari kamus hadits lainnya[20].
Ketiga, model penelusuran takhrij al-hadits
melalui topik pokok hadits. Dalam melakukan takhrij al-hadits
menggunakan topik ini, hendaknya lafal hadis yang terdapat didalam matan
tidaklah mesti sama, karena yang dipandang adalah kesamaan tema yang diusung
oleh masing-masing hadis yang terkait. Untuk hal ini juga diperlukan kitab
kamus hadis, yang lengkap dengan cara langsung menginformasikan letak
sumber-sumber hadis yang terkait, seperti karya A.J. Wensinck yang lain yang
juga diterjemahkan ke dalam bahasa Arab yang berjudul Miftah Kunuz
al-Sunnah. Menurut keterangan kitab ini berisi 14 macam kitab sumber hadis
di mana 9 buah sebagaimana terdapat dalam kitab Mu’jam dan 5 yang lain
adalah, Musnad Zaid ibn Ali, Musnad Abi Dawud al-Tayalisi, Tabaqat ibn
Sa’ad, Sirah ibn Hisyam,dan Magazi al-Waqidi. Dan ke 3) penelusuran takhrij
al-hadits melalui pangkal dari suatu kalimat atau kata-kata didalam
sebuah matan hadits, yang sering diistilahkan juga dengan model penelusuran
hadits secara alfabetis, Seperti model yang terdapat dalam kitab Jami’
al-Saghir li Ahadis alBasyir al-Nazir karya Jalal al-Din al-Suyuti[21].
2.
Penelitian Sanad
Setelah Rasulullah Saw wafat. tidak
pernah ada dari para sahabat yang meragukan sahabat yang lainnya. Serta Tabi’in
juga tidak pernah ragu-ragu dalam menerima hadits yang telah diriwayatkan oleh
para sahabat, yang mereka terima dari Rasulullah Saw. Nanti setelah fitnah
melanda kaum muslimin, muncul seorang Yahudi bernama Abdullah bin Saba’ yang
menyatakan tuduhan keji yang bertitik tolak pada pemikiran kaum Syiah yang
mendewa-dewakan Sayyidina Ali RA. Ia pun mulai mengadakan infiltrasi terhadap
assunnah, dan karena ulahnya itulah membekas, dan meningkat pada
generasi-generasi selanjutnya[22].
Dari peristiwa tersebutlah para sahabat
dan tabi’in bertindak lebih berhati-hati dalam menerima dan juga menyebarkan
hadits. Mereka hanya mau menerimanya apabila hadits tersebut telah jelas jalan
dan rawinya. Mereka mulai meneliti langsung dan merunut nama-nama rawinya
apakah jelas serta terpercaya dan adil ataupun sebaliknya. Dalam hal ini pula
terdapat kegiatan penelitian sanad, yaitu setelah kegiatan takhrij hadits dilakukan
maka seluruh sanad hadits dicatat serta dihimpun untuk dilakukan i‘tibar, yang artinya meninjauan terhadap berbagai
jenis hal dengan tujuan untuk mengetahui sesuatu yang sama atau sejenis, tak
lupa juga dengan menyertakan sanad-sanadnya yang lain untuk suatu hadits
tertentu. sehingga akan dapat diketahui apakah ada periwayatnya yang adil atau
tidak ada sama sekali. Untuk bagian sanad hadits tersebut. Menurut Dr. Mahmud
al-Tahhan, untuk mempelajari sanad hadits berarti menuntut adanya lima syarat, agar
dapat dinilai derajat suatu hadits, yaitu[23]:
a.
Mencari biografi perawi
Dalam hal ini juga para ahli hadits telah berhasil menyusun
kitab-kitab tentang biografi perawi itu sendiri kedalam berbagai macam susunan
(berdasarkan urutan huruf atau bab-bab fikih). Biografi perawi tsiqah atau
perawi dhaif dan sesamanya. Sehingga itu juga merupakan keharusan bagi orang
yang hendak mengetahui biografi salah satu perwi, untuk melihat kitab-kitab
tersebut seperti perawi kitab hadits. Jika seseorang tidak mengetahui pribadi
seorang perawi, ia tetap dapat untuk menemukan biografinya dengan hanya
mengetahui namanya saja itu pun sudah bisa. Karena sebagian besar kitab
biografi perawi ini dalam mengemukakan nama-nama perawi menggunakan urutan
huruf mu’jam dengan memperhatikan nama-nama perawinya dan nama bapaknya (ayah).
b.
Membahas keadilan dan
kedlabitan perawi
Tahap yang
kedua guna untuk mempelajari sanad hadits adalah meneliti keadilan dan
kedhabitan sang perawi dengan cara membacanya dan juga mempelajari
pendapat-pendapat para ahli jarh dan ta’dil yang sudah terdapat di
tengah-tengah biografi setiap perawi.
c.
Membahas kemuttashilan sanad
(sanad yang bersambung)
Dalam hal ini juga disetiap sanadnya,
suatu hadits haruslah muttashil atau bersambung.
d.
Membahas syadz dan illat hadits
Membahas illat dan syadz hadits adalah suatu perbuatan yang
sangat sulit dibandingkan dengan membahas keadilan serta kedhabitan perawi
serta kemuttashilan sanadnya. Untuk mengetahui ada dan juga tidaknya kesesuaian
antara beberapa sanad hadits dan juga untuk menjelaskan ada tidaknya illat dan
syadz hadits hanya dapat dilakukan oleh orang yang menguasainya (menghafal)
serta banyak juga sanad dan matan hadits. Illat hadits juga dapat dijelaskan
dengan cara menghimpun semua sanadnya dan
memperhatikan perbedaan perawi-perawi hadits tersebut. Berdasarakan
uraian-uraian di atas bisa diketahui bahwasannya kegiatan penelitian khususnya
sanad ditempuh melalui jalur seluruh sanad. dalam hal ini juga harus jelas,
sehingga nantinya akan dapat dibedakan antara jalur sanad yang satu dengan
jalur sanad yang lainnya. Dan juga nama-nama periwayat yang dicantumkan harus
dicermati dengan baik, supaya pada akhirnya tidak akan mengalami kesulitan
tatkala dilakukan penelitian melalui kitab-kitab rijal. Yang selanjutnya dengan
melihat metode periwayatan yang digunakan oleh masing-masing periwayat.
Dapat dipahami juga bahwa pada masa-masa
awal Islam, kaum muslimin (shahahat) tidaklah selalu mempertanyakan akan sanad
hadis. hal ini dikarenakan adanya sikap yang saling mempercayai dan tidak
adanya kedustaan di antara mereka. Karena itu pula tidaklah heran jika, terkadang mereka
mengisnadkan hadis yang diriwayatkan dan terkadang tidak melakukannya. Tetapi
pada saat terbunuhnya Khalifah Usman dan disusul juga dengan munculnya kelompok-kelompok
politik serta pendustaan yang mengatas namakan diri Rasulullah saw, maka para
shahabatpun bersikap ketat dalam hal mengisnadkan hadis dari para perawi.
Merekapun mengharuskan (wajib) adanya sanad dalam setiap periwayatan dan
melaksanakannya secara sempurna. Tindakan shahabat yang berhati-hati inilah
dalam periwayatan suatu hadis, diikuti oleh generasi-generasi sesudahnya tabi’in dan juga tabi’ tabi’in. Mereka
senantiasa menuntut dan mengharuskan adanya sanad hadis. Pada masa mereka lah
penelitian terhadap sanad hadis mulai dilakukan[24].
Sanad hadis merupakan unsur utama
penelitian dan pemahaman suatu hadis. Sanad yang ditetapkan para ulama hadits
memiliki kualitas tingkatan yang berbeda-beda. Perbedaan itu dapat disebabkan
karena tingkatan otoritas yang dimiliki oleh komunitas tertentu, terhadap
syarat minimal kesahihan suatu hadis,
serta penetapan tingkatan hadis yang dapat digunakan dalam persoalan tertentu.
Para ulama hadis telah bersepakat bahwa pedoman bagi aqidah haruslah
berdasarkan hadis-hadis mutawatir. Jika didalam suatu hadis ada yang terdapat
pembicaraan yang ganjil dan sukar (sulit) untuk dipahami, maka persoalan sanad
menjadi hal utama yang harus diperhatikan. Dengan kata lain, kondisi kandungan
hadis yang dibicarakan hadis tersebut akan ditinggalkan apabila setelah
diteliti ternyata sanadnya dha'if.[25]
Dalam persoalan ini, tidak dapat
dipungkiri juga bahwa terdapatnya hadis-hadis yang sukar (sulit) untuk dipahami
(dimengerti) isi kandungannya, namun memiliki sanad yang kuat, bahkan
mutawatir, maka dari itu hadis seperti ini menjadi bahasan utama dalam Ilmu
Isykal alHadist. Hal Ini dikarenakan, terdapat ruang lingkup yang cukup
luas tentang ajaran agama islam yang tidak terbatas pada persoalan-persoalan
yang nyata, tetapi juga terdapat pada aspek-aspek di luar jangkauan perkiraan
manusia itu sendiri. Hadis-hadis yang memiliki kandungan hal-hal yang sukar
(suli) untuk dimengerti atau sulit ubtuk dipahami, namun sanadnya tidak
memenuhi standar sahih, maka hadis tersebut dapat dikategorikan atau
digolongkan kedalam suatu hadis yang dha'if bahkan maudhu'.
Artinyam adalah, dalam hal ini penelaahan terhadap matan hadis tersebut tidak
perlu dilakukan sebagai kajian dalam bidang Isykal al-hadis karena ia telah
menjadi suatu hadis yang tidak layak untuk dijadikan pedoman bagi umat muslim.[26]
3.
Penelitian
Matan Hadis
Penelitian matan hadis ini merupakan
salah satu bentuk upaya untu meneliti kandungan atau matan suatu hadis. Para
ulama hadis berpendapat, bahwa suatu kritik matan itu harus didahului oleh
kritik sanad terlebihdahulu. Dengan kata lain, sebuah hadis yang sudah
dinyatakan lemah dari segi sanadnya, maka upaya terhadap kritik matan tidak
lagi menjadi kewajiban, karena suatu hadis tersebut sudah dianggap tidak
memenuhi syarat untuk dijadikan hujjah. Secara umum ada tiga langkah metologis
kegeiatan penelitian matan hadits, yaitu[27]:
a.
Meneliti matan dengan
melihat kualitas sanadnya.
Dalam penelitian sebuah hadits, para
ulama lebih mendahulukan penelitian sanad atas matan. Hal ini bertujuan, bukan
berarti bahwa sanad itu lebih penting dari pada matan. Bagi para ulama hadits,
kedua bagian riawayat hadits itu sama-sama penting, hanya saja penelitian
matan, baru mempunyai arti jika sanad bagi matan hadits yang bersangkutan telah
jelas dan memenuhi syaratnya. Tanpa adanya sanad, maka suatu matan tidak dapat
dinyatakan sebagai berasal dari Rasulullah Saw. Para ulama hadits menganggap
penting penelitian matan untuk dilakukan, setelah sanad bagi matan itu telah
diketahui kualitasnya, maka dalam hal ini kualitas shahih, atau minimalnya
tidak termasuk berat kedhaifannya. Suatu matan dan sanad yang sudah jelas akan
dhaif nya, maka tidak perlu diteliti sebab hasil akhirnya tidak akan memberi
manfaat bagi kehujaan hadits yang bersangkutan.
b.
Meneliti susunan matan
semakna.
1) Terjadi perbedaan lafaz
Menurut sebagian besar ulama hadits,
perbedaan lafaz yang tidak mengakibatkan perbedaan makna, asalkan sanadnya
sama-sama shahih, maka hal seperti itu dapat ditoleransi. Cukup banyak juga
matan hadits yang semakna dengan sanad yang sama-sama shahihnya dan tersusun
dengan lafaz yang berbeda. Contohnya yaitu hadits tentang niat yang
ditakhrijkan oleh Bukhari, Turmudzi, Nasa’i, Muslim, Ibnu Majah, Abu Dawud dan
Ahmad bin Hambal. Hadits tersebut menurut riwayat Bukhari terdapat tujuh matan
yang tersusun lafaznya berbeda-beda.
2) Akibat terjadinya perbedaan lafaz
yaitu:
Dengan menggunakan metode muqaranah
(perbandingan) Dalam hal ini juga diperlukan metode muqaranah tidak hanya
ditujukan pada lafaz-lafaz matan saja, tetapi juga pada setiap masing-masing
sanadnya, dengan menempuh metode muqaranah, maka nantinya akan diketahui apakah
terjadi perbedaan lafaz pada matan yang masih dapat ditoleransi atau tidak.
Metode ini sebagai upaya untuk lebih mencermati susunan matan yang nantinya
akan dapat dipertanggung jawabkan keasliannya.
c.
Meneliti kandungan matan
yaitu:
1) Kandungan matan yang sejalan
Guna untuk mengetahui ada atau tidak
adanya matan lain yang memiliki topik dengan masalah yang sama, perlu dilakukan
takhrijul hadits bi al-maudhu’.
Apabila nantinya terdapat matan lain yang bertopik sama, maka matan tersebut
perlu diteliti sanadnya. Jika nantinya sanadnya memenuhi syarat, maka kegiatan
muqaranah perlu untuk dilakukan.
2) Membandingkan kandungan matan yang
tidak sejalan
Dalam hal ini juga, jika sejumlah hadits
Nabi yang tidak tampak bertentangan atau tidak sejalan dengan hadits-hadits
lain atau juga dengan ayat al-quran, maka pasti ada yang melatarbelakanginya.
Dalam hal ini juga perlu digunakan pendekatan-pendekatan yang sah dan tepat
yang sesuai dengan tuntutan kandungan matan yang bersangkutan tersebut.
3) Menyimpulkan hasil penelitian
Setelah langkah-langkah di atas
ditempuh, langkah terakhir dalam penelitian matan adalah dengan cara
menyimpulkan hasil penelitian matan tersebut. Karena kualitas matan itu sendiri
hanya dikenal dua macam saja tidak lebih, yaitu shahih dan dhaif. Maka
kesimpulan dari penelitian matan nantinya akan berkisar pada dua macam
kemungkinan tersebut. Selanjutnya
didalam penelitian suatu matan hadits terdapat beberapa hal, yaitu sebagai
berikut:
a) Jika dalam matan hadits terdapat tanda-tanda kepalsuan seperti
lemah lafaznya, dan rusak maknanya atau bertentangan
dengan teks al-quran yang shahih atau sebagainya, maka hal yang paling tepat
guna untuk mengetahui sumbernya ialah dengan cara melihat kitab-kitab al-maudhu’at (kitab-kitab tentang hadits
maudhu’). Dengan kitab-kitab ini juga dapat diketahui hadits yang mempunyai
sifat-sifat tersebut, misalnya bahasan, takhrijnya, dan juga penjelasan tentang
orang-orang yang memalsukannya. Di antara kitab-kitab tentang hadits maudhu’
yang disusun berdasarkan huruf hijaiyah adalah al-maudhuah al-kubrah karya Syekh Ali al-Qari al-Harawi, dan kitab
yang disusun berdasarkan bab-bab fikih adalah Tanzihu syari’ah al-Marfu’ah anil ahadits syaniyah al-maudhu’ah
karya Abul Hasan Ali bin Mu- hammad bin Iraq al-Kinany.
b) Jika matan termasuk hadits qudsi, maka sumber yang paling tepat
untuk mencarinya adalah dengan kitab-kitab yang khusus menghimpun hadits qudsi
itu sendiri, karena di dalamnya telah disebutkan perawinya secara gamblang (lengkap).
Di antara kitab-kitab tersebut adalah Misyakatul
anwar fi ma ruwiyah anillahi subhanahu wa ta’ala minal akhbar, karya Muhyidin
Muhammad bin Ali bin Arabi al-Khatimi al-Andalusi, yang mengimpun 101 hadits
lengkap dengan sanadnya.
Al-Ithafus-saniyyah bil ahaditsi qudisiyah, karya Syekh Rauf al-Munawi.
Dalam kaitan hal tersebut, maka menurut
jumhur ulama hadits, bahwa tanda-tanda matan hadist yang palsu adalah:
1) Susunan bahasanya rancu. Rasulullah Saw. yang sangat fasih dalam
berbahasa Arab dan memiliki gaya bahasa yang khas, sehingga akan mustahil
mengeluarkan pernyataan yang rancu tersebut. 2) Kandungan pernyataannya
tersebut bertentangan dengan akal sehat dan sangat sulit ditafsirkan secara
rasional dan juga sulit untuk dimengerti. 3) Kandungan pernyataan-pernyataannya
bertentangan dengan tujuan pokok ajaran Islam, contohnya seperti berisi ajaran
untuk berbuat maksiat. 4) isi kandungan pernyataannya bertentangan dengan sunnatullah
(hukum alam). 5) Kandungan pernyataan bertentangan dengan fakta sejarah. 6) isi
kandungan pernyataannya bertentangan dengan petunjuk al-quran ataupun hadist
mutawatir yang telah mengandung petunjuk secara pasti. 7) Kandungan
pernyataannya berada di luar kewajiban diukur dari petunjuk umum ajaran Islam, contohnya
yaitu: amalan-amalan tertentu yang menurut ajaran agama islam dinyatakan sebagai
amalan yang tidak seberapa, tetapi diiming-imingi dengan balasan pahala yang
sangat luar biasa.
Pelaksanaan kritik matan hadis Agar
upaya pelaksanaan kritik matan mencapai sasaran dan tujuan yang diinginkan,
maka diperlukan adanya pedoman atau petunjuk pelaksanaannya, termasuk juga tata
urutan segenap kegiatan dalam melakukan kritik yang dimaksud. Sebagian para
ulama menetapkan langkah-langkah kritik matan yang terdiri dari:
a.
Bidang kebahasaan, termasuk
kritik teks yang mencermati keaslian dan kebenaran teks, format qauli
atau format fi'li. Target untuk analisis proses kebahasaan matan hadis
ini tertuju pada upaya penyelamatan hadis dari segi pemalsuan dan jaminan
kebenaran teksnya hingga ukuran sekecil-kecilnya. Langkah metodologis ini bertaraf kritik otentisitas
dokumenter (naqd taqnini ikhtilathi). Temuan hasil analisisnya bisa mengarah
pada gejala mudhtarif, mawdhu', mudraj mudhtarif tafarrud, ziyadat
al-tsiqah, mu’allal, mushahhaf muharraf dan lain sebagainya.
b.
Analisis terhadap isi
kandungan makna (konsep doktrin) pada matan hadis. Target kerja analisisnya
berorientasi langsung pada suatu aplikasi ajaran yang berstatus layak
diamalkan, harus dikesampingkan atau ditangguhkan pemanfaatannya sebagai hujjah
syar’iyyah. Kategori kritiknya adalah naqd tathbiqi. Hasil temuan
analisisnya bisa menjurus pada gejala: munkar, syadz ta'arudh
(kontradiksi), atau mukhtalif
(kontroversi).
c.
Penelusuran ulang nisbah
(asosiasi) pemberitaan dalam matan hadis kepada narasumber. Target analisisnya
terkait dengan potensi kehujjahan hadis dalam upaya merumuskan norma syari’ah.
Karenanya perlu dikembangkan uji nisbah (asosiasi) Kandungan makna yang termuat
dalam suatu matan hadis, apakah benar-benar melibatkan peran aktif nabi Saw.
Ataukah hanya sebatas praktek keagamaan para sahabat atau tabiin atau
semata-mata karena fatwa pribadi mereka itu sendiri. Hasil temuan analisisnya
menjurus pada data marfu’, mawquf, maqthu’ atau sebatas atsar atau
kreatifitas ijtihad.
Terkait dengan kebutuhan praktis
penggalian suatu makna (substansi konsep doktrinal) atas setiap ungkapan matan
hadis tersebut, dibutuhkan langkah metodologi pengembangan makna hadis.
Akumulasi metode bagi pengembangan makna hadis (sunnah) telah memunculkan
sejumlah teori atau kaidah dalam ‘Ilmu Ma'ani al-hadis atau ilmu Fiqh
al-Hadis dan Ilmu Gharib al-Hadis. Kaidah analisis untuk mensifati
gejala ungkapan metaforik, analogis, retorik, lambang, sindiran, tamsil,
jawami’ al-kalim dan lain sebagainya.[28]
Metode Kritik Matan Menurut Al-Adlabi
Tolok ukur yang digunakan dalam kritik matan tidak lepas dari unsur
syadz dan ‘illah dalam kaedah kesahehan hadis. Menurut al-Khatib al-Bagdadi (w.
463 H/ 1072 M) bahwa suatu matan hadis dapat dinyatakan maqbul sebagai
matan hadis yang sahih apabila memenui unsur-unsur sebagai berikut:
1)
Tidak bertentangan dengan
akal sehat
2)
Tidak bertentangan dengan
hukum al-Qur’an yang telah muhkam (ketentuan hukum yang telah
tetap)
3)
Tidak bertentangan dengan
hadis mutawatir
4)
Tidak bertentangan dengan
amalan yang telah menjadi kesepakatan ulama masa lalu (ulama
salaf)
5)
Tidak bertentangan dengan
dalil yang telah pasti, dan
Tolok ukur yang dikemukakan di atas,
hendaknya tidak satupun matan hadis yang bertentangan dengannya. Sekiranya ada,
maka matan hadis tersebut tidak dapat dikatakan matan hadis yang sahih.
“ARTIKEL TKHRIJ HADIS 2.pdf,” n.d.
Febriana Fauzi, Niki
Alma. “MANHAJ KRITIK MATAN â˜Äâ™ISYAH RA.” Muwazah, no. Vol 5, No 1:
Juni 2013 (2013). http://e-journal.stain-pekalongan.ac.id/index.php/Muwazah/article/view/341.
Hudaya, Hairul.
“METODOLOGI KRITIK MATAN HADIS MENURUT AL-ADLABIDARI TEORI KE APLIKASI.” Jurnal
Ilmu Ushuluddin, no. Vol 13, No 1 (2014): Jurnal Ilmu Ushuluddin (2014):
29–40.
“kritik sanad 2.pdf,”
n.d.
Nadhiran, Hedhri.
“KRITIK SANAD HADIS: Telaâ™ah Metodologis.” JIA (Jurnal Ilmu Agama),
no. Vol 15, No 1 (2014): Jurnal Ilmu Agama (2014): 91–109.
Nasrullah, Nasrullah.
“METODOLOGI KRITIK HADIS: (STUDI TAKHRIJ AL-HADIS DAN KRITIK SANAD).” Hunafa:
Jurnal Studia Islamika, no. Vol 4, No 4 (2007): STUDI KEISLAMAN (2007):
403–16.
———. “METODOLOGI KRITIK
HADIS:(STUDI TAKHRIJ AL-HADIS DAN KRITIK SANAD).” HUNAFA: Jurnal Studia
Islamika 4, no. 4 (2007): 403–416.
Nurkholidah,
Nurkholidah. “KRITIK HADIS PERSPEKTIF GENDER (Studi Atas Pemikiran Fatima
Mernissi).” Holistik 15, no. 1 (2016).
http://www.syekhnurjati.ac.id/jurnal/index.php/holistik/article/view/433.
Rahman, Muhammad S.
“KAJIAN MATAN DAN SANAD HADITS DALAM METODE HISTORIS.” Jurnal Ilmiah
Al-Syir’ah 8, no. 2 (2016).
http://journal.iain-manado.ac.id/index.php/JIS/article/view/15.
Suryadi, Mr.
“REKONSTRUKSI KRITIK SANAD DAN MATAN DALAM STUDI HADIS.” ESENSIA: Jurnal
Ilmu-Ilmu Ushuluddin, no. Vol 16, No 2 (2015) (2015).
http://ejournal.uin-suka.ac.id/index.php/esensia/article/view/996.
Wahid, Abd. “METODE
PENELITIAN DAN PEMAHAMAN HADIS MUSYKIL.” Substantia, no. Vol 15, No 2
(2013) (2013). http://substantiajurnal.org/index.php/subs/article/view/18.
Wahyudi, Arif. “KRITIK
MATAN (Sebuah Upaya Menjaga dan Meneropong Orisinalitas Hadîts).” AL-IHKAM,
no. Vol 4, No 2 (2009) (2009): 169–86.
[1]
Nurkholidah
Nurkholidah, “KRITIK HADIS PERSPEKTIF GENDER (Studi Atas Pemikiran Fatima
Mernissi),” Holistik 15, no. 1 (2016),
http://www.syekhnurjati.ac.id/jurnal/index.php/holistik/article/view/433.
[2]
Nasrullah
Nasrullah, “METODOLOGI KRITIK HADIS: (STUDI TAKHRIJ AL-HADIS DAN KRITIK
SANAD),” Hunafa: Jurnal Studia Islamika, no. Vol 4, No 4 (2007): STUDI
KEISLAMAN (2007): 403–16.
[3]
Ibid.
[4]
Mudallis berasaI dari kata tadlis yang berarti menyembunyikan aib. Dalam
ilmu hadist hal yang disembunyikan adalah sanad atau guru tempat menerima
hadist. Tadlis ada dua macam (a) Tadlis al-Isnad yaitu seorang rawi tidak
menyebutkan syekhnya (guru tempat ia menerima
hadist) tapi lansung meriwayatkan dari - guru dari gurunya (b) Tadlis
al-Syuyukh yaitu seorang rawi menyebutkna gurunya dengan nama atau gelar yang tidak dikenal dikalangan orang
lain. Abd al-Karim Hurrah at al, Min athyabi al Manhi Fi’ilm al-Mushthalah,
AI-Mamlakah al-‘Arabiyah al-Su’udiyah, AI-Jami’ah aI--Islamiyah Bi al-Madinati
a1-Munawwarah, 1415 H, ha127“ARTIKEL
TKHRIJ HADIS 2.pdf,” n.d.
[6] Para ahli berbeda dalam menuliskan urutan kelima metode tersebut.
Al-Thahhan menuliskan dengan urutan (1) dengan cara mengenal rawi pertama (2) dengan
cara mengenal lafal pertama matan Hadist (3) dengan cara mengenal lafal Hadist
yang jarang terpakai (4) Dengan cara mengidentifikasi tema Hadist dan (5)
dengan cara melihat keadaan matan dan sanad Hadist. Lihat al-Thahhan, op cit,
hal 35. A1-Mahdi mengurutnya dengan urutan (1) Takhrij menurut lafal pertama
Hadist (2) menurut lafal-lafal yang terdapat dalam Hadistt (3) menurut perawi
terakhir (sahabat) (4) menurut tema Hadistt dan (5) menurut klasifikasi jenis
Hadist. Lihat ‘Abd al-Mahdi, op cit, hal 15. Berbeda dengan kedua ahli diatas
yang mengajuakan lima metode, Suhudi Isma’il hanya mengejukan dua metode dengan
urutan (1) takhrij hadistmelalui lafal dan (2) takhrij hadist melalui tema
Hadist. Lihat Isma’il. Op cit,hal 46.
[7]
Mr. Suryadi,
“REKONSTRUKSI KRITIK SANAD DAN MATAN DALAM STUDI HADIS,” ESENSIA: Jurnal
Ilmu-Ilmu Ushuluddin, no. Vol 16, No 2 (2015) (2015),
http://ejournal.uin-suka.ac.id/index.php/esensia/article/view/996.
[8]
Nurkholidah,
“KRITIK HADIS PERSPEKTIF GENDER (Studi Atas Pemikiran Fatima Mernissi).”
[9]
Suryadi, “REKONSTRUKSI
KRITIK SANAD DAN MATAN DALAM STUDI HADIS.”
[10]
Hedhri Nadhiran,
“KRITIK SANAD HADIS: Telaâ™ah Metodologis,” JIA (Jurnal Ilmu Agama),
no. Vol 15, No 1 (2014): Jurnal Ilmu Agama (2014): 91–109.
[11]
Ibid.
[12]
Suryadi dan M. Alfatih
Suryadilaga, Metodologi Penelitian Hadis, (Yogyakarta: Teras dan TH
Press, 2009), hlm. 99-100.
[13] “kritik sanad 2.pdf,”
n.d.
[14]
Niki Alma
Febriana Fauzi, “MANHAJ KRITIK MATAN â˜Äâ™ISYAH RA,” Muwazah, no. Vol
5, No 1: Juni 2013 (2013),
http://e-journal.stain-pekalongan.ac.id/index.php/Muwazah/article/view/341.
[16]
Arif Wahyudi,
“KRITIK MATAN (Sebuah Upaya Menjaga dan Meneropong Orisinalitas Hadîts),” AL-IHKAM,
no. Vol 4, No 2 (2009) (2009): 169–86.
[17]
Ibid.
[18]
Ibid.
[19]
Febriana Fauzi,
“MANHAJ KRITIK MATAN â˜Äâ™ISYAH RA.”
[20]
Nasrullah
Nasrullah, “METODOLOGI KRITIK HADIS:(STUDI TAKHRIJ AL-HADIS DAN KRITIK SANAD),”
HUNAFA: Jurnal Studia Islamika 4, no. 4 (2007): 403–416.
[21]
Ibid.
[22]
Muhammad S.
Rahman, “KAJIAN MATAN DAN SANAD HADITS DALAM METODE HISTORIS,” Jurnal Ilmiah
Al-Syir’ah 8, no. 2 (2016), http://journal.iain-manado.ac.id/index.php/JIS/article/view/15.
[23]
Ibid.
[24]
Nadhiran,
“KRITIK SANAD HADIS: Telaâ™ah Metodologis.”
[25]
Abd. Wahid,
“METODE PENELITIAN DAN PEMAHAMAN HADIS MUSYKIL,” Substantia, no. Vol 15,
No 2 (2013) (2013), http://substantiajurnal.org/index.php/subs/article/view/18.
[26]
Ibid.
[27]
Rahman, “KAJIAN
MATAN DAN SANAD HADITS DALAM METODE HISTORIS.”
[28]
Wahid, “METODE
PENELITIAN DAN PEMAHAMAN HADIS MUSYKIL.”
[29]
Hairul Hudaya,
“METODOLOGI KRITIK MATAN HADIS MENURUT AL-ADLABIDARI TEORI KE APLIKASI,” Jurnal
Ilmu Ushuluddin, no. Vol 13, No 1 (2014): Jurnal Ilmu Ushuluddin (2014):
29–40.