Pages

Rabu, 29 Maret 2017

kritik sanad dan kritik matan


Takhrij Hadis, Kritik Sanad, Kritik Matan,
dan Metode Pemahaman Hadis Nabi


Agung Karisma Putra
Institut Agama Islam Negeri Metro
E-mail: agungkharisma20@gmail.com

Abctrak
Tulisan ini menjelaskan mengenai takhrij hadits, yang mana begitu penting ilmu ini untuk menambah wawasan mengenai hadits secara menyeluruh, apa saja tujuannya, bagaimana manfaatnya, serta metode apa saja yang digunakan. Karena itu dalam setiap hadits pasti memiliki sandaran yaitu sanad, dalam artikel ini juga akan dijelaskan bagaimana cara menemukan sanad yang baik pada sebuah hadits, dan seperti apa sanad hadits yang berkualitas, lalu bagaimana para periwayatnya dan apakah ada kejanggalan atau tidak dalam hadits tersebut. Matan dari segi bahasa artinya membelah, mengeluarkan, mengikat. dan dari matan lah dapat diketahui apa yang sebenarnya disampaikan oleh Rasulullah SAW. Untuk memudahkan memahami hadits, Maka matan juga memiliki kriteria yang memenuhinya. diperlukan metode pemahaman yang tepat agar tidak terjadi kesalahhan dalam menafsirkan hadits nabi tersebut, karena hadits merupakan salah satu sumber hukum yang paling utama dan penting.
Kata kunci: Takhrij, sanad, matan


Abstrac
               This paper explains the Takhrij hadith, which is so important science is to increase knowledge about the hadith as a whole, whatever its purpose, what benefits, as well as whatever method is used. Therefore in every hadith certainly has a backrest that is sanad, in this article also describes how to find a good sanad in a hadith, and what kind of quality sanad hadith, then how did the narrator and whether or not there were irregularities in the Hadith. Matan terms of language means splitting, issuing, binding. and of honor was the one can know what is actually delivered by the Prophet Muhammad. To facilitate understanding of the hadith, then matan also have criteria that away. necessary understanding of appropriate methods to prevent kesalahhan in interpreting hadith the prophet, because the hadith is one of the main sources of law and the most important.
Keywords: Takhrij, sanad, Matan


A.                Pendahuluan
mayoritas umat Islam sepakat bahwa sumber dari ajaran agama Islam adalah al-Qur’an dan hadis. Sebagai sumber pokok dari ajara agama islam keduanya tidak boleh disangsikan akan kebenarannya, Hadits adalah segala bentuk perbuatan, ucapan, tindakan, pemikiran dan ketetapan, serta persetujuan Rasulullah SAW. Yang kemudian semua itu dijadikan salah satu acuan bagi umat nabi Muhammad SAW. Untuk menjalankan ibadah kepada Allah SWT. Salah satu yang dipelajari dalam ilmu hadits ialah takhrij hadis, matan dan sanad. Ketiga hal ini merupakan komponen yang sangat penting atau yang wajib diketahui ketika ingin mempelajari asal usul hadis. Seperti makna, apa isi dari hadits tersebut, serta bagaimana runtutan hadits itu diperoleh. Para ahli di bidang hadis tidak sebanyak dengan para ahli di bidang al-Qur’an. Dalam bidang hadis, perkembangan pemikiran yang ada tidak sejalan dengan jumlah hadis Nabi sendiri yang jumlahnya berlipat ratusan kali lebih banyak dari jumlah ayat al-Qur‘an.
Berkat usaha dan kerja keras para alim ulama tersebut, maka hadist-hadist Nabi telah berhasil dikumpulkan dan dibukukan menjadi khazanah yang sayangt berharga bagi umat Islam di dunia. Tokoh-tokoh yang sangat berjasa dalam melakukan usaha mulia serta terpuji tersebut di antaranya adalah Al-Turmuzi, Al-Bukahri, Muslim, Al-Darimi dan lain sebagainya. Walaupun hadist-hadist Nabi telah dibukukan oleh para penulisnya, yang sudah lengkap serta baik matan maupun sanadnya. pada kenyataanya pada kehidupan saat ini banyak sekali kita temui baik dalam media ceramah maupun bentuk tulisan. Masih sangat banyak hadist-hadist yang tampa identitas (tidak disebutkan rawi serta kualitasnya) Terkadang hanya disebutkan potongannya saja tanpa disebutkan rawi pertamanya. Dalam hal ini tentu saja tidak begitu meyakinkan, apalagi kalau hadist yang dilafalka maupun ditulis berkenaan dengan masalah akidah maupun ibadah.
Menurut Mahmud al-Thahhan: Takhrij adalah (usaha) menunjukkan letak asal hadist pada sumber- sumbernya yang asli yang didalamnya telah dicantumkan sanad hadist tersebut (secara lengkap), serta menjelaskan kualitas hadist tersebut jika kolekter memandang perlu.
Menurut bahasa artinya “ sandaran, tempat bersandar, yang menjadi sandaran (al mu’tamad) atau yang bisa dijadikan pegangan atau sesuatu yang terangkat (tinggi) dari tanah. Sedangkan Matan dari segi bahasa artinya membelah, mengeluarkan, mengikat, menurut istilah matan adalah ujung sanad atau materi dari hadis atau lafal hadits itu sendiri.
B.                 Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, yang berupa penelitian tentang sebuah subjek secara menyeluruh dan mendalam. Penelitian ini juga dilakukan untuk memahami dan menafsirkan makna takhrij hadis, sanad, matan, serta metode pemahaman hadis Nabi. Agar menambah wawasan bagi pembacanya, terutama para pelajar yang ingin menambah wawasannya akan ilmu hadis, yang mana hadis merupakan salah satu sumber ajaran poko agama islam. Data-data ini dikumpulkan dengan teknik bedah buku, buku yang diambil dari berbagi sumber. Data-data ini dianalisis sesuai dengan apa yang ingin disampaikan. Sehingga dapat menghasilkan pengetahuan yang luas bagi banyak kalangan, terutama bagi para pelajar-pelajar yang ingin menambah wawasannya mengenai ilmu hadits.

C.                Pembahasan
1.                  Takhrij Hadits
Jika kritik itu berarti upaya maka untuk membedakan antara yang benar dengan yang salah, maka dapat dikatakan bahwa kritik telah di mulai pada masa hidup Nabi. Tapi pada masa itu juga, istilah ini hanya berarti, pergi untuk menemui Nabi guna untuk membuktikan sesuatu yang dilaporkan telah dikatakan beliau. “Sesungguhnya, pada tahap ini ia merupakan proses konsolidasi dengan tujuan agar kaum muslimin merasa tentram sebagaimana di paparkan oleh al-Qur’an  dalam kasus Nabi Ibrahim a.s”.[1]
Kemuncukan takhrij hadits menurut al-Tahhan, hal itu terkait dengan konsep sejarah yang membentang dari proses perkembangan ilmu hadits itu sendiri. Para ulama hadis yang tergolong mutaqaddimin belum mempergunakan kaidah-kaidah dari metode takhrij al-hadis. Karena pengetahuan mereka yang sangat luas dan pengaruh tradisi hafalan yang kuat terhadap sumber-sumber hadis atau sunnah Nabi[2].
Sedangkan arti dari takhrij hadits Menurut Mahmud al-Thahhan: Takhrij adalah (usaha) menunjukkan letak asal hadist pada sumber- sumbernya yang asli yang didalamnya telah dicantumkan sanad hadist tersebut (secara lengkap), serta menjelaskan kualitas hadist tersebut jika kolekter memandang perlu.[3]
Menurut Nawir Yuslem: Hakekat takhrij adalah penelusuran atau pencaraian hadist pada berbagai kitab hadist sebagai sumbernya yang asli yang didalamnya dikemukakan secara lengkap matan dan sanad Hadist.
Menurut M. Syuhudi Isma’il: Takhrij Alhadist adalah penelusuran atau pencaraian Hadist pada berbagai kitab sumber asli dari hadist yang bersangkutan, yang didalam seumber itu dikemukakan secara lengkap matandan sanad hadist yang bersangkutan.
Dari defenisi-defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa takhrij hadist adalah usaha untuk menemukan matan dan sanad hadist secara lengkap, dari sumber-sumbernya yang asli. maka dari situlah akan bisa diketahui kualitas suatu hadist.
Takhrij hadits pula memiliki beberapa tujuan yang sangat penting diantaranya yaitu : a) untuk menunjukkan sumber hadist-hadist dan menerangkan diterima atau ditolaknya hadist-hadist tersebut, b) Dengan takhrij hadits yang shohih, maka akan dapat mengangkat hadits dhaif yang masih ada kaitannya dengan hadits yang shahih, c) Untuk mengumpulkan sanad dan matan hadits, sehingga akan diketahui sumber sumber hukum asli beserta periwayatnya, d) Dengan takhrij pun akan dapat memperjelas perawi hadits yang samar. Contohnya seperti apakah perawi itu jelas identitasnya, dan apakah perawi itu  adil atau tidak, dan d) Dengan adanya hadits maka akan dapat memperjelas hukum hadits dengan banyak riwayatnya.

Dari beberapa hal yang disampaikan diatas dapat diketahui bahwa takhrij hadits memiliki bnyaki sekali manfaat sehingga memberikan pengetahuan yang luas bagi orang-orang ingin mendalami ilmu tentang takhrij hadits.
Sedangkan manfaat takhrij secara simple adalah (a) Dapat mengumpulkan berbagai sanad suatu hadist dan (b) Dapat mengumpulkan berbagai redaksi matan hadist. Apabila dirinci maka ada 20 manfa’at takhrij hadist, sebagai berikut:
1.      Dengan melakukan takhrij dapat diketahui sumber-sumber asli suatu hadist serta ulama yang  meriwayatkannya.
2.      Takhrij dapat menambah perbendaharaan sanad hadist-hadist melalui kitab-kitab yang ditunjukinya. Semakin banyak kitab-kitab asal yang memuat suatu hadist, semakin banyak pula perbendaharaan sanad yang dimiliki.
3.      Takhrij dapat memperjelas keadaan sanad. Dengan membandingkan riwayat-riwayat hadist yang banyak itu maka dapat diketahui apakah riwayat tersebut mungathi’, maudhu’, dan lain-lian, serta dapat diketahui apakah riwayat tersebut shahih, dha’if dan sebagainya.
4.      Takhrij memperjelas hukum hadist dengan banyak riwayatnya itu. Terkadang didapati suatu Hadist dha’if melaiui suatu riwayat, namun dengan takhrij kemungkinan kita akan mendapati riwayat lain yang shahih.hadist yang shahih itu akan mengangkat hukum atau kualitas hadist dha’if tersebut kederajat yang lebih tinggi.
5.      Dengan takhrij dapat diketahui pendapat-pendapat para ulama tentang kualitas suatu hadist.
6.      Takhrij dapat memperjelas perawih hadist yang samar. Umpamanya didapatkan seorang perawi yang belum ada kejelasan identitasnya. Dengan adanya takhrij kemungkinan akan dapat diketahui nama atau identita perawinya secara lengkap.
7.      Takhrij dapat memperjelas perawi hadist yang tidak diketahui nama (sebenarnya) nya melaui perbandingan diantara sanad-sanad
8.      Takjhrij dapat menafikan pemakaian dalam periwayatan hadist oleh seorang perawi Mudallis.[4] Dengan didapatinya sanad yang lain yang memakai kata yang jelas ketersambungan sanadnya, makaperiwayatan yang memakai tadi akan nampak pula ketersambungannya.
9.      Takhrij dapat menghilangkan kemungkinan terjadinya percampuran periwayatan.
10.  Takhrij dapat membatasi nama perawi yang sebenarnya. Hal ini karena mungkinan saja ada perawi-perawi yang mempunyai kesamaan gelar. Dengan adanya sanad yang lain maka nama perawi itu akan menjadi jelas.
11.  Takhrij dapat memperkenalkan periwayatan yang tidak terdapat dalam satu sanad.
12.  Takhrij dapat memperjelas arti kalimat yang asing yang terdapat dalam satu sanad.
13.  Takhrij dapat menghilangkan hukum syadz (kesendirian riwayat yang menyalahi riwayat tsiqat) yang terdapat pada suatu hadist melalui perbandingan riwayat.
14.  Takhrij dapat membedakan hadist yang mudraj (yang mengalami penyupan sesuatu sesuatu) dari yang lainnya.
15.  Takhrij dapat mengungkapkan keragu-raguan dan kekeliruan yang dialami oleh seorang perawi.
16.  Takhrij dapat mengungkapkan hal-hal yang terIupakan atau diringkas oleh seorang rawi
17.  Takhrij dapat membedakan antara proses periwayatan yang dilakukan dengan lafazh dengan yang diriwayatkan dengan makna.
18.  Takhrij dapat menjelaskan masa dan tempat kejadian munculnya hadist.
19.  Takhrij dapat menjelaskan sebab-sebab munculnya hadist, dengan cara membandingkan sanad-sanad yang ada.
20.  Takhrij dapat mengungkapkan kemungkian terjadinya kesalahan percetakan dengan melalui perbandingan sanad-sanad yang ada.[5]

Pada zaman dahulu, bagi para ulama dan peneliti terdahulu memiliki pengetahuan yang luas dan baik, karena pengetahuan yang mereka miliki sangatlah luas dan kuat hubungannya dengan sumber hadits itu sendiri, shingga para ulama dan peneliti terdahulu tidak memerlukan buku-buku takhrij seperti saat ini. Karena pengetahuan mereka itulah mereka dapat membuktikan keshahihan sebuah hadits itu, serta dapat menjelaskan kitab-kitab yang menjadi sumbernya, bahkan selain dari itu, para ulama dan peneliti terdahulu dapat mengetahui metode dan cara-cara penyususnan kitab-kitab tesebut. Takhrij hadis ini muncul karena saat berkembangnya ilmu fiqh, tafsir dan sejarah, para ulama tersebut terkadang tidak menyebutkan sumber hadits yang mereka ambil. Dalam melakukan takhrij, ada lima metode[6] yang bisa dipakai yaitu:
1)      Takhrij melalui lafal yang terdapat dalam matan hadist.
2)      Takhrij melalui lafal pertama matan hadist.
3)      Takhrij melalui periwayat pertama (sanad pada tingkat sahabat)
4)      Takhrij melalui tema-tema hadist.
5)      Takhrij melalui klasifikasi jenis hadist.

2.                  Kritik Sanad
Sanad adalah “jalur matan”, yaitu rangkaian para perawi yang memindahkan matan dari sumber primer-nya. Jalur itu disebut sanad adakalanya karena periwayat bersandar kepadanya, dalam menisbatkan matan kepada sumbernya. Dan adakalanya karena para hafizh bertumpu kepada “periwayat” dalam mengetahui kualitas suatu hadits[7]
Disinilah letak urgensinya sanad hadis, sebab tanpa adanya sanad setiap oang mungkin akan  mengaku dirinya pernah bertemu dengan nabi saw. Karena itulah, tepat sekali ucapan Abdullah bin Al-Mubarak (181 H), sistem sanad hadis merupakan bagian tak terpisahkan dari agama Islam. Sebab tanpa adanya sistem sanad setiap orang dapat mengatakan apa yang dikehendakinya. Maka sejak saat itu, para ulama hadis bersepakat untuk membuat persyaratan-persyaratan yang sangat ketat untuk rawi-rawi yang dapat diterima hadisnya, disamping kriteria-kriteria teks hadis yang dapat dijadikan sebagi sumber ajaran Islam.[8]
Muhammad bin Sirin (w.110 H) yang menyatakan : “Sesungguhnya pengetahuan hadis adalah agama, maka perhatikanlah dari siapa kamu mengambil agamamu itu”. Ada pula Abdullâh bin al-Mubârak (w.181 H), seorang ahli hadis terkemuka yang berkata: “Sanad hadis merupakan bagian dari agama. Sekiranya sanad hadis tidak ada, niscaya siapa saja akan bebas menyatakan apa yang dikehendakinya”.[9]
Kata ini digunakan dalam istilah ilmu hadis karena makna sanad secara bahasa dipandang sama dengan perbuatan para perawi hadis atau para ulama hadis itu sendiri. Ada juga kata lain yang mempunyai makna yang hampir sama dengan sanad, yaitu isnad. Isnad adalah mengangkat suatu hadis kepada sumber yang meriwayatkannya. Artinya menjelaskan sanad dalam periwayatan suatu hadis. Tetapi saat prakteknya, penggunaan kedua istilah ini dalam suatu pengertian sering kali terjadi.
Di smaping kata isnad, kata thariq (jalan) dan juga wajh terkadang juga sering dipakai untuk menggantikan istilah sanad, sebagaimana ditemukan pada perkataan sebahagian ulama hadis: Hadis ini sampai kepada kami melalui jalan atau wajh ini. Sistem sanad merupakan keistimewaan tersendiri dan juga suatu yang spesifik bagi umat Islam, karena umat-umat sebelumnya tidak memiliki sistem periwayatan seperti ini. Mengenai keadaan ini.
            Karena itu juga, seandainya jika umat Islam tidak memiliki sistem sanad, tentu ajaran-ajaran Rasulullah saw yang terdapat didalam hadis-hadis beliau sudah pasti mengalami nasib seperti ajaran para Nabi sebelumnya. Sanadlah yang menjadi pilar utama didalam pemeliharaan kelanggengan kemurnian kemurnian (kesucian) sumber kedua ajaran Islam. Disinilah letak nilai dan urgensi sanad[10].
Mengingat tingginya nilai dan urgensi sanad, dengan demikian para ulama menganggap pemakaian sanad merupakan simbol dari umat Islam, seperti dikatakan oleh Muhammad ibn Sirin (w. 110 H) bahwa “Sesungguhnya pengetahuan hadis adalah agama, maka perhatikanlah dari siapa kamu mengambil agamamu itu”. Abdullah ibn Mubarak (w. 181 H ) menyatakan “Sanad merupakan bagian dari umat Islam. Tanpa adanya sanad, setiap orang dapat mengatakan apapun yang dikehendakinya”. Sementara Sufyan al-Tsawri menyatakan bahwa sanad merupakan senjata bagi umat Islam, jika tidak ada senjata di tangan mereka, maka bagaimana mereka akan berperang. Keistimewaan Islam dalam penggunaan sistem sanad ini juga diakui oleh Sprenger, orientalis Jerman, seperti ditulisnya pada pengantar Kitab al-Ishabah fi Tamyiz alShahabah karya Ibn Hajar al-‘Asqalani, cetakan Kalkuta (1853-1864): “Tidak ada atupun dari bangsa-bangsa terdahulu dan juga pada bangsa-bangsa sekarang yang menghasilkan karya seperti Ilmu Asma’ Rijal (Ilmu yang memuat biografi para perawi hadis) seperti disusun oleh umat Islam dalam ilmu yang agung ini. Ilmu ini memuat informasi dan hal ihwal sekitar 500.000 perawi hadis”.
Sanad akan lebih tampak menonjol apabila perhatian diarahkan kepada para perawi yang membentuk sanad itu sendiri. Karena dengan adanya penelitian sanad akan dapat diketahui apakah silsilah periwayatannya bersambung, sampai kepada Nabi atau tidak. Juga bisa diketahui apakah pemberitaan dari mereka dapat dipertanggungjawabkan, yang pada akhirnya akan dapat diketahu nilai hadis yang diriwayatkan; apakah shahih, dha’if , hasan, atau bahkan mawdhu’. Urgensi inilah yang ditegaskan Imam al-Syafi’i bahwa seseorang yang mencari hadis dengan tidak mempedulikan sanad-nya seperti seseorang yang mencari kayu bakar di malam hari. Dia tidak akan tahu apa yang ada diambilnya; apakah kayu bakar atau ular[11].
Sanad mengandung dua bagian yang sangat penting, yaitu nama-nama periwayatnya dan lambang-lambang. periwayatan hadis yang telah digunakan oleh masing-masing periwayat dalam meriwayatkan hadis. Para ulama hadis berpendapat akan pentingnya kedudukan sanad itu sendiri dalam riwayat hadis. Oleh karena itu, suatu berita yang dinyatakan sebagai hadits Nabi oleh seseorang, tetapi tidak memiliki sanad sama sekali, dinyatakan sebagai hadits palsu (maudlu’).[12]
Kaidah yang dipakai untuk penelitian hadits itu sendiri, sebenarnya sudah ada sejak lahirnya hadis itu sendiri. Hal ini terbukti dengan adanya selektifitas para sahabat-ahabat nabi dalam menerima informasi hadits yang tidak diterimanya secara langsung dari Nabi saw. dengan cara mengecek ulang kebenaran informasi kepada Nabi saw. Pada tahab selanjutnya, para ulama lebih memperjelas kaedah tersebut dan menerapkannya kepada hadits yang mereka teliti dan mereka riwayatkan. Kaedah tersebut kemudian disempurnakan oleh para alim ulama sesudahnya sehingga kaedah tersebut nantinya akan berlaku sampai sekarang. Salah seorang ulama hadits yang berhasil menyusun kaedah kesahihan hadits adalah Ibn al-Shalah. Dia mengatakan bahwa hadits sahih adalah hadits yang bersambung sanadnya (sampai kepada Nabi), diriwayatkan oleh (periwayat) yang ‘adil dan dabit sampai akhir sanad, (di dalam hadits itu) tidak terdapat kejanggalan syuzuz dan cacat „illah.[13]

Dari definisi di atas, unsur-unsur kesahihan sanad adalah sebagai berikut: 
a.       sanad hadits harus bersambung dari mukharrij-nya sampai kepada Nabi saw.
b.      seluruh periwayat dalam hadis harus bersifat ‘adil
c.       sanad dan matan-nya terhindar dari kejanggalan (syuzuz)

Lalu apakah pada masa sahabat, ketika sanad itu belum terlalu panjang. Sangat penting untuk diketahui terlebih dahulu, bahwa penelitan sanad pada masa awal Islam atau periode sahabat, sangat berbeda dengan penelitian-penelitian sanad pada zaman sekarang ini. Bila dilihat sekarang seorang peneliti harus menelusuri biografi dan penilaian para ulama terhadap seorang perawi ke dalam berbagai kitab mabâqât dan tarâjim (kitab biografi). maka pada saat masa  periode sahabat hal-hal seperti itu tidak dapat dilakukan. Karena terdapat beberapa sebabnya, diantaranya adalah
a.       bahwa kitab-kitab biografi baru muncul pada sekitar abad ke-2 H, jauh setelah masa periode sahabat berakhir.
b.      Karena materi-materi hadis yang baru terdistribusi di antara para sahabat dan sangat sedikit dari para tabiin, karena para sahabat yang semuanya memiliki sifat‘âdil (bermoral tinggi). Sehingga penelitian sanad pada masa itu belum terlalu detail dan tersistem seperti yang dilakuhkan pada masa saat ini.
Namun pada masa sahabat telah muncul benih-benih kritik sanad, yang dilakukan oleh para sahabat itu sendiri. Misalnya pada saat Umar mendengar hadis yang disampaikan oleh Ubai ibn Ka’ab. Umar tidak langsung menerimanya, setelah para sahabat yang lain, di antaranya Abu Yarr menyatakan telah mendengar pula hadis Nabi tentang apa yang dikemukakan oleh Ubai tersebut barulah Umar bersedia menerima riwayat hadis dari Ubai tersebut. Dari sinilah dapat diketahui bahwa para sahabat, telah menggunakan beberapa cara (metode) untuk memastikan keotentikan atau keaslian  sebuah hadis. Metode seperti ini merupakan suatu bentuk kehati-hatian para sahabat dalam menerima suatu hadis dari seorang perawi.[14]
Untuk mengetahui seorang periwayat mempunyai sifat dabit atau tidak, sifat adil atau tidak, juga maka diperlukan ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil, yaitu ilmu yang membahas keadaan para perawi dari segi diterima atau ditolaknya periwayatan mereka.[15] Dalam menentukan kapasitas kualitas dan potensi rawi tersebut, maka akan dilaakuhkan dengan jarh dan ta’dil, banyak lafaz yang digunakan oleh para kritikus. Lafaz-lafaz tersebut nantinta akan mengandung pengertian khusus dan tertentu yang disesuaikan dengan kondisi rawi dalam penilaian kritikus.
Di kalangan para ulama hadis tidak ada kesepakatan tentang jumlah tingkatannya al-jarh wa al-ta’dil. Ada yang membaginya menjadi 4 tingkatan seperti Ibn Abi Hatim al-Razi (w. 327 H.), Ibn al-Salah (w. 643 H.), dan al-Nawawi (w. 676 H.), ada yang membagi menjadi 5 tingkatan seperti al-Zahabi (w. 748 H.), al-Iraqi (w. 806 H.), dan Abu Faid al-Harawi (w. 837 H.). Dan ada juga yang membaginya menjadi 6 tingkatan, seperti Ibn Hajar al-Asqalani (w. 852 H.) dan Jalal al-Din al-Suyuti (w. 911 H.)9 intelektualitas seorang periwayat.
Kritik terhadap sanad dalam hal kajian hadits ditujukan guna untuk mengetahui sisi keaslian hadits itu sendiri, sisi keasliannya sangatlah penting agar setiap orang tidak sembarangan dalam melakuhkan penafsirran hadits. Apakah suatu hadits memang benar-benar bersumber dari Nabi langsung atau tidak, atau mungkin bersumber dari perkataan-perkataan palsu yang berasal dari para perawi yang tidak diketahui keotentikannya atau kejelasannya. Jadi, secara lebih spesifik dapat dikatakan bahwa otentitas sanad adalah suatu yang harus atau mutlak guna untuk memahami sebuah hadits. Pandangan seperti inilah yang harus dipegang teguh oleh para ulama hadits.
Kritik sanad lazimnya diletakkan pada lima kriteria, yaitu:
a)      adil (integritas periwayat)
b)      dhabith (intelektual periwayat)
c)      muttashil (sanadnya bersambung)
d)     ghair syadz (tidak ada kejanggalan)
e)      ghair ‘illah (tidak ada cacat).
Satu poin penting lagi yang harus digunakan, yaitu periwayat dari kalangan sahabat harus adil dan diterima periwayatannya tanpa harus melalui proses penelitian atas kepribadiannya.

3.                  Kritik Matan
Dalam bahasa Arab kritik matan biasa disebut dengan naqd al-matn al-hadîts. Kata naqd inilah yang kemudian diterjemahkan dengan kritik. Sedangkan kritik dalam bahasa Indonesia bermakna menghakimi, menimbang dan membanding. Dalam bahasa umum orang Indonesia kata “kritik” mempunyai pengertian yang tidak lekas percaya atau jangan terlalu percaya dengan hal-hal yang blum pasti, terdapat pertimbangan baik buruk dan tajam dalam analisis ini. Dari pembahasan kebahasan itu, maka “kritik” dapat diartikan dengan upaya membedakan antara yang asli dengan yang tiruan (palsu).  Adapun asal kata matan dalam bahasa Arab berarti tanah yang keras dan membukit.
Sedangkan pengertian matan adalah kumpulan lafazh yang terbentuk makna-makna. Disamping itu matan juga biasa disebut dengan nash atau teks hadits, letak dari matan sendiri terletak di ujung dari sanad. hal ini menunjukkan bahwa sanad merupakan media pertanggung jawaban atas asal-usul dari teks hadîts itu sendiri.[16]
Kritik matan hadits adalah sebuah cara untuk mendapatkan  informasi yang sebenar-benarnya dari Rasulullah saw. Serta berfungsi juga untuk memilah mana yang benar dan mana yang bohong (palsu), yang bisa jadi disebabkan oleh kekurang cermatnya dalam melakuhkan periwayatannya. Kritik matan itu sendiri bukannya tidak pernah dibahas serta dilakukan sama sekali, hanya saja kaum muslim beranggapan bahwa kritik matan ini masih jauh dari sempurna.
Umar bin Khaththab pernah menolak sebuah riwayat yang ia anggap bertentangan dengan Al-Qur’an. Penolakan itu berkaitan dengan Fathimah ibn Qais, yang meriwayatkan bahwa suaminya Abu Amr bin Hafsh keluar bersama Ali bin Abi Thalib ke Yaman. Sesampainya di sana, suaminya mengirim utusan untuk menyampaikan talak tiga kepadanya, maka ia minta keluarga suaminya itu untuk memberi nafkah untuknya, tapi mereka justru berkata, “Kamu tidak berhak menerima nafkah, kecuali bila kamu hamil.” Fatimah pun datang menghadap nabi saw. Untuk melaporkan hal tersebut. Ia berharap nabi membelanya tapi nabi saw. Justru bersabda, “Engkau tidak berhak menerima nafkah dan tempat tinggal.[17]
Umar menolak riwayat itu karena ia beranggapan, bahwa riwayat itu tidak sesuai dengan apa yang telah dijelaskan Al-Qur’an. Umar memberi keputusan bahwa perempuan yang ditalak tiga, tetap berhak untuk mendapat nafkah dan tempat tinggal. Beliau berkata, “Kami tidak akan meninggalkan al-qur’an dan Sunnah karena semata ada riwayat dari seorang wanita, yang kami tidak tahu, ia menghafal riwayat tersebut atau tidak.
Aisyah salah seorang yang memiliki kecerdasan di kalangan  para sahabat, beliau juga pernah mengkritisi sebuah hadits yang diriwayatkan Umar ibn Khaththab bahwa “orang mati itu disiksa karena tangisan keluarganya”. Aisyah berkata, “Semoga Allah swt. memberikan rahmat kepada Umar, karena yang dimaksud dengan hadits “seorang mayat akan disiksa karena tangisan keluarganya” bukan seorang mukmin yang meninggal akan disiksa karena keluarganya menangisi kematiannya. Tapi maksudnya, Allah swt. akan menambah siksa orang kafir yang mati dan kemudian menangisi kematiannya.
Dari contoh di atas dapat kita lihat bahwa Umar dan Aisyah tidak hanya membetulkannya tetapi juga mengkritik isinya, dengan cara membandingkanya dengan al-qur’an, karena tidak mungkin hadits nabi akan bertentangan dengan al-qur’an.[18]
Atas dasar inilah, para sahabat melakukan kritik matan hadits. Para sahabat mempertanyakan bahkan sampai menolak sebuah hadits yang dianggapnya bertentangan dengan al-qur’an. Di samping itu juga, para sahabat juga membandingkan suatu hadits dengan hadits lainnya yang memiliki tema yang sama pula. Ada masa dimana setelah para sahabat, kritik matan ini disempurnakan, sampai kemudian muncul para ulama’ yang secara khusus mendalami ilmu ini atau mendedikasikan dirinya untuk membahas permasalan-permasalahan hadits pada masa itu dan masa selanjutnya. Para ulama’ terbagi menjadi dua yaitu ulama’ kepada ulama’ hadîts riwayah dan dirayah, yang terakhir ini membahas tentang hadits dari sisi teorinya yang di dalamnya juga berisi tentang hal-hal yang berkaitan dengan kritik matan. Di antara pembahasan itu adalah musthalah hadits yang secara khusus untuk mencakup kritik matan adalah hadits syadz, hadits munkar, hadits mu’allal, hadits mudhtharib, hadits mudraj, hadits maqlub, hadits maudu’  dan sebagainya.
Tolak ukur pertama yang digunakan Aisyah dalam menilai matan hadis adalah dengan cara mengujinya, dengan Al-Qur’an. Al-Qur’an adalah kitab suci yang telah terjamin keasliannya (keotentikannya). Al-Qur’an menjadi sumber utama ajaran agama Islam yang mengatur segala aspek kehidupan manusia. Al-Qur’an tidak hanya sekedar memuat petunjuk tentang hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan sesamanya, serta manusia dengan alam sekitar. Bila dilihat dari segi kekuatan hukum, Al-Qur’an berada di atas segala-galalanya. Setiap yang menyimpang apalagi bertentangan dengan Al-Qur’an bisa dipastikan bahwa ia adalah sesuatu yang salah. Begitu juga dengan hadis, meskipun ia sama-sama menjadi sumber ajaran Islam, akan tetapi dari segi otoritas, hadis berada di bawah al-Qur’an. Hal ini juga dipahami dengan sangat baik oleh Aisyah, bahwa sesuatu yang benar pasti tidak akan bertentangan satu sama lain. Oleh karena hal pertama yang menjadi tolak ukur yang digunakan oleh Aisyah dalam mengkritisi suatu hadis adalah menguji materi yang terkandung dalam hadis tersebut, dengan apa yang termaktub di dalam al-Qur’an. Sehingga konsekuensi dari penggunaan tolak ukur ini adalah hadis-hadis yang bertentangan atau menyimpang dari ketentuan yang telah ada dalam al-Qur’an.[19]
            Untuk menentukan kesahihan suatu matan hadits, para ulama bersepakat bahwa telah mengadakan penelitian dan kritikan secara seksama terhadap matan hadits, sehingga mereka memberikan kriteria sebagai berikut;
a)                  sempurnanya formasi kata dalam kalimat
Kehalusan bahasa nabi Muhammad bukan saja teruji oleh kaedah bahasa, tetapi terseleksi terhadap pilihan kata-kata sehingga problema seksualpun beliau ungkapkan dengan dan melalui keindahan dan kesopanan bahasa.
Ibn Hajar al-Asqalani menyatakan setandar lemahnya suatu kata terletak pada suatu makna yang dikandungnya. Bukan pada kata dan redaksinya. Sehingga dapat dimaklumi kalu seorang perawi terpaksa meriwayatkan suatu hadits dengan makna, akibat ketidakmampuan mengungkapkan kata-kata hadits tersebut,  dengan baik. Kedustaan rawi akan tampak tatkala dia mengatakan bahwa kata-kata itupun berasal darinabi
b)                  kesempurnaan makna
Makna hadits seharusnya dan semestinya tidak bertentangan dengan potensi positip manusia dan juga tidak bertentangan dengan  ilmu pengetahuan dan penalaran logis juga tidak sunnatullah.

Metode pemahaman hadits nabi

1.                  Metode takhrij al-hadits
Jika seseorang ingin mencari suatu riwayat hadis yang berhubungan dengan takhrij, itu tidak semudah dengan mencari ayat-ayat Al-qur’an, berbagai kitab hadits yang sangat banyak dan beragam. Berbeda dengan mencari ayat-ayat Al-qur’an yang termuat dalam satu mushaf utuh. Dengan penelusuran melalui metode manual masih bisa dilakukan, apalagi dengan melibatkan kitab indeks Al-qur’ani. Dalam konteks ini, diperlukan suatu kitab atau kamus hadits yang bisa untuk menjadi suatu panduan praktis bagi penelusuran sanad hadits. Setelah seseorang sudah mengenal beberapa kitab kamus hadis tersebut, langkah selanjutnya adalah dngan mengetahui caranya, teknik atau dengan metode dalam melakukan takhrij al-hadits, yang juga dapat diklasifikasikan ke dalam dua macam teknik atau metode takhrij al-hadits itu sendiri. 1), metode berbasis teknologi dan informatika (IT) dengan menggunakan CD ROM  Mausu’ah al-Hadis al-Syarif  dan CD Kitab al-Alfiyah li al-Ahadis alNabawiyyah.
Dengan cara mencari hadits-hadits yang terdapat dalam program seperti ini akan relatif lebih mudah atau gampang, efisien dan tentunya praktis, asalkan terlebih dahulu harus mengetahui prosedur dan arahan-arahanya dan juga perintah-perintah digital yang terdapat dalam program ini. 2) adalah dengan cara metode konvensional, yang dapat disimpulkan kembali kedalam tiga model penelusuran, Model penelusuran takhrij al- hadits dengan melalui lafal hadis. Dalam tataran praktis takhrij al-hadits guna untuk mencari lafal tersebut, diperlukan beberapa kitab kamus hadis yang lengkap. Dalam hal ini Kitab karya A.J. Wensinck yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dengan judul alMu‟jam al-Mufahras li Alfaz al-Hadis al-Nabawi oleh Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi, bisa untuk dijadikan panduan. Dengan adanya kamus hadis ini, memuat sembilan buah kitab hadis, yaitu; Sahih al-Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan  al-Turmizi, Sunan al-Nasa’i, Sunan ibn Majah, Sunan al-Darimi, Muwatta’, dan Musnad ibn Hanbal. Sedangkan untuk hadits-hadits yang tidak terdapat dalam ke sembilan kitab ini, maka harus mencari kamus hadits lainnya[20].
Ketiga, model penelusuran takhrij al-hadits melalui topik pokok hadits. Dalam melakukan takhrij al-hadits menggunakan topik ini, hendaknya lafal hadis yang terdapat didalam matan tidaklah mesti sama, karena yang dipandang adalah kesamaan tema yang diusung oleh masing-masing hadis yang terkait. Untuk hal ini juga diperlukan kitab kamus hadis, yang lengkap dengan cara langsung menginformasikan letak sumber-sumber hadis yang terkait, seperti karya A.J. Wensinck yang lain yang juga diterjemahkan ke dalam bahasa Arab yang berjudul Miftah Kunuz al-Sunnah. Menurut keterangan kitab ini berisi 14 macam kitab sumber hadis di mana 9 buah sebagaimana terdapat dalam kitab Mu’jam dan 5 yang lain adalah, Musnad Zaid ibn Ali, Musnad Abi Dawud al-Tayalisi, Tabaqat ibn Sa’ad, Sirah ibn Hisyam,dan Magazi al-Waqidi. Dan ke 3) penelusuran takhrij al-hadits melalui pangkal dari suatu kalimat atau kata-kata didalam sebuah matan hadits, yang sering diistilahkan juga dengan model penelusuran hadits secara alfabetis, Seperti model yang terdapat dalam kitab Jami’ al-Saghir li Ahadis alBasyir al-Nazir karya Jalal al-Din al-Suyuti[21].

2.                  Penelitian Sanad
Setelah Rasulullah Saw wafat. tidak pernah ada dari para sahabat yang meragukan sahabat yang lainnya. Serta Tabi’in juga tidak pernah ragu-ragu dalam menerima hadits yang telah diriwayatkan oleh para sahabat, yang mereka terima dari Rasulullah Saw. Nanti setelah fitnah melanda kaum muslimin, muncul seorang Yahudi bernama Abdullah bin Saba’ yang menyatakan tuduhan keji yang bertitik tolak pada pemikiran kaum Syiah yang mendewa-dewakan Sayyidina Ali RA. Ia pun mulai mengadakan infiltrasi terhadap assunnah, dan karena ulahnya itulah membekas, dan meningkat pada generasi-generasi selanjutnya[22].
Dari peristiwa tersebutlah para sahabat dan tabi’in bertindak lebih berhati-hati dalam menerima dan juga menyebarkan hadits. Mereka hanya mau menerimanya apabila hadits tersebut telah jelas jalan dan rawinya. Mereka mulai meneliti langsung dan merunut nama-nama rawinya apakah jelas serta terpercaya dan adil ataupun sebaliknya. Dalam hal ini pula terdapat kegiatan penelitian sanad, yaitu setelah kegiatan takhrij hadits dilakukan maka seluruh sanad hadits dicatat serta dihimpun untuk dilakukan i‘tibar,  yang artinya meninjauan terhadap berbagai jenis hal dengan tujuan untuk mengetahui sesuatu yang sama atau sejenis, tak lupa juga dengan menyertakan sanad-sanadnya yang lain untuk suatu hadits tertentu. sehingga akan dapat diketahui apakah ada periwayatnya yang adil atau tidak ada sama sekali. Untuk bagian sanad hadits tersebut. Menurut Dr. Mahmud al-Tahhan, untuk mempelajari sanad hadits berarti menuntut adanya lima syarat, agar dapat dinilai derajat suatu hadits, yaitu[23]:
a.                   Mencari biografi perawi
Dalam hal ini juga para ahli hadits telah berhasil menyusun kitab-kitab tentang biografi perawi itu sendiri kedalam berbagai macam susunan (berdasarkan urutan huruf atau bab-bab fikih). Biografi perawi tsiqah atau perawi dhaif dan sesamanya. Sehingga itu juga merupakan keharusan bagi orang yang hendak mengetahui biografi salah satu perwi, untuk melihat kitab-kitab tersebut seperti perawi kitab hadits. Jika seseorang tidak mengetahui pribadi seorang perawi, ia tetap dapat untuk menemukan biografinya dengan hanya mengetahui namanya saja itu pun sudah bisa. Karena sebagian besar kitab biografi perawi ini dalam mengemukakan nama-nama perawi menggunakan urutan huruf mu’jam dengan memperhatikan nama-nama perawinya dan nama bapaknya (ayah).
b.                  Membahas keadilan dan kedlabitan perawi
            Tahap yang kedua guna untuk mempelajari sanad hadits adalah meneliti keadilan dan kedhabitan sang perawi dengan cara membacanya dan juga mempelajari pendapat-pendapat para ahli jarh dan ta’dil yang sudah terdapat di tengah-tengah biografi setiap perawi.
c.                   Membahas kemuttashilan sanad (sanad yang bersambung)
Dalam hal ini juga disetiap sanadnya, suatu hadits haruslah muttashil atau bersambung.
d.                  Membahas syadz dan illat hadits
Membahas illat  dan syadz hadits adalah suatu perbuatan yang sangat sulit dibandingkan dengan membahas keadilan serta kedhabitan perawi serta kemuttashilan sanadnya. Untuk mengetahui ada dan juga tidaknya kesesuaian antara beberapa sanad hadits dan juga untuk menjelaskan ada tidaknya illat dan syadz hadits hanya dapat dilakukan oleh orang yang menguasainya (menghafal) serta banyak juga sanad dan matan hadits. Illat hadits juga dapat dijelaskan dengan cara menghimpun semua  sanadnya dan memperhatikan perbedaan perawi-perawi hadits tersebut. Berdasarakan uraian-uraian di atas bisa diketahui bahwasannya kegiatan penelitian khususnya sanad ditempuh melalui jalur seluruh sanad. dalam hal ini juga harus jelas, sehingga nantinya akan dapat dibedakan antara jalur sanad yang satu dengan jalur sanad yang lainnya. Dan juga nama-nama periwayat yang dicantumkan harus dicermati dengan baik, supaya pada akhirnya tidak akan mengalami kesulitan tatkala dilakukan penelitian melalui kitab-kitab rijal. Yang selanjutnya dengan melihat metode periwayatan yang digunakan oleh masing-masing periwayat.
Dapat dipahami juga bahwa pada masa-masa awal Islam, kaum muslimin (shahahat) tidaklah selalu mempertanyakan akan sanad hadis. hal ini dikarenakan adanya sikap yang saling mempercayai dan tidak adanya kedustaan di antara mereka. Karena itu pula  tidaklah heran jika, terkadang mereka mengisnadkan hadis yang diriwayatkan dan terkadang tidak melakukannya. Tetapi pada saat terbunuhnya Khalifah Usman dan disusul juga dengan munculnya kelompok-kelompok politik serta pendustaan yang mengatas namakan diri Rasulullah saw, maka para shahabatpun bersikap ketat dalam hal mengisnadkan hadis dari para perawi. Merekapun mengharuskan (wajib) adanya sanad dalam setiap periwayatan dan melaksanakannya secara sempurna. Tindakan shahabat yang berhati-hati inilah dalam periwayatan suatu hadis, diikuti oleh generasi-generasi sesudahnya  tabi’in dan juga tabi’ tabi’in. Mereka senantiasa menuntut dan mengharuskan adanya sanad hadis. Pada masa mereka lah penelitian terhadap sanad hadis mulai dilakukan[24].
Sanad hadis merupakan unsur utama penelitian dan pemahaman suatu hadis. Sanad yang ditetapkan para ulama hadits memiliki kualitas tingkatan yang berbeda-beda. Perbedaan itu dapat disebabkan karena tingkatan otoritas yang dimiliki oleh komunitas tertentu, terhadap syarat minimal  kesahihan suatu hadis, serta penetapan tingkatan hadis yang dapat digunakan dalam persoalan tertentu. Para ulama hadis telah bersepakat bahwa pedoman bagi aqidah haruslah berdasarkan hadis-hadis mutawatir. Jika didalam suatu hadis ada yang terdapat pembicaraan yang ganjil dan sukar (sulit) untuk dipahami, maka persoalan sanad menjadi hal utama yang harus diperhatikan. Dengan kata lain, kondisi kandungan hadis yang dibicarakan hadis tersebut akan ditinggalkan apabila setelah diteliti ternyata sanadnya dha'if.[25]
Dalam persoalan ini, tidak dapat dipungkiri juga bahwa terdapatnya hadis-hadis yang sukar (sulit) untuk dipahami (dimengerti) isi kandungannya, namun memiliki sanad yang kuat, bahkan mutawatir, maka dari itu hadis seperti ini menjadi bahasan utama dalam Ilmu Isykal alHadist. Hal Ini dikarenakan, terdapat ruang lingkup yang cukup luas tentang ajaran agama islam yang tidak terbatas pada persoalan-persoalan yang nyata, tetapi juga terdapat pada aspek-aspek di luar jangkauan perkiraan manusia itu sendiri. Hadis-hadis yang memiliki kandungan hal-hal yang sukar (suli) untuk dimengerti atau sulit ubtuk dipahami, namun sanadnya tidak memenuhi standar sahih, maka hadis tersebut dapat dikategorikan atau digolongkan kedalam suatu hadis yang dha'if bahkan maudhu'. Artinyam adalah, dalam hal ini penelaahan terhadap matan hadis tersebut tidak perlu dilakukan sebagai kajian dalam bidang Isykal al-hadis karena ia telah menjadi suatu hadis yang tidak layak untuk dijadikan pedoman bagi umat muslim.[26]

3.                  Penelitian Matan Hadis
Penelitian matan hadis ini merupakan salah satu bentuk upaya untu meneliti kandungan atau matan suatu hadis. Para ulama hadis berpendapat, bahwa suatu kritik matan itu harus didahului oleh kritik sanad terlebihdahulu. Dengan kata lain, sebuah hadis yang sudah dinyatakan lemah dari segi sanadnya, maka upaya terhadap kritik matan tidak lagi menjadi kewajiban, karena suatu hadis tersebut sudah dianggap tidak memenuhi syarat untuk dijadikan hujjah. Secara umum ada tiga langkah metologis kegeiatan penelitian matan hadits, yaitu[27]: 
a.                   Meneliti matan dengan melihat kualitas sanadnya.
Dalam penelitian sebuah hadits, para ulama lebih mendahulukan penelitian sanad atas matan. Hal ini bertujuan, bukan berarti bahwa sanad itu lebih penting dari pada matan. Bagi para ulama hadits, kedua bagian riawayat hadits itu sama-sama penting, hanya saja penelitian matan, baru mempunyai arti jika sanad bagi matan hadits yang bersangkutan telah jelas dan memenuhi syaratnya. Tanpa adanya sanad, maka suatu matan tidak dapat dinyatakan sebagai berasal dari Rasulullah Saw. Para ulama hadits menganggap penting penelitian matan untuk dilakukan, setelah sanad bagi matan itu telah diketahui kualitasnya, maka dalam hal ini kualitas shahih, atau minimalnya tidak termasuk berat kedhaifannya. Suatu matan dan sanad yang sudah jelas akan dhaif nya, maka tidak perlu diteliti sebab hasil akhirnya tidak akan memberi manfaat bagi kehujaan hadits yang bersangkutan.



b.                  Meneliti susunan matan semakna.
1) Terjadi perbedaan lafaz
Menurut sebagian besar ulama hadits, perbedaan lafaz yang tidak mengakibatkan perbedaan makna, asalkan sanadnya sama-sama shahih, maka hal seperti itu dapat ditoleransi. Cukup banyak juga matan hadits yang semakna dengan sanad yang sama-sama shahihnya dan tersusun dengan lafaz yang berbeda. Contohnya yaitu hadits tentang niat yang ditakhrijkan oleh Bukhari, Turmudzi, Nasa’i, Muslim, Ibnu Majah, Abu Dawud dan Ahmad bin Hambal. Hadits tersebut menurut riwayat Bukhari terdapat tujuh matan yang tersusun lafaznya berbeda-beda.
2) Akibat terjadinya perbedaan lafaz yaitu:
Dengan menggunakan  metode muqaranah (perbandingan) Dalam hal ini juga diperlukan metode muqaranah tidak hanya ditujukan pada lafaz-lafaz matan saja, tetapi juga pada setiap masing-masing sanadnya, dengan menempuh metode muqaranah, maka nantinya akan diketahui apakah terjadi perbedaan lafaz pada matan yang masih dapat ditoleransi atau tidak. Metode ini sebagai upaya untuk lebih mencermati susunan matan yang nantinya akan dapat dipertanggung jawabkan keasliannya.
c.                   Meneliti kandungan matan yaitu:
1) Kandungan matan yang sejalan
Guna untuk mengetahui ada atau tidak adanya matan lain yang memiliki topik dengan masalah yang sama, perlu dilakukan takhrijul hadits bi al-maudhu’. Apabila nantinya terdapat matan lain yang bertopik sama, maka matan tersebut perlu diteliti sanadnya. Jika nantinya sanadnya memenuhi syarat, maka kegiatan muqaranah perlu untuk dilakukan.
2) Membandingkan kandungan matan yang tidak sejalan
Dalam hal ini juga, jika sejumlah hadits Nabi yang tidak tampak bertentangan atau tidak sejalan dengan hadits-hadits lain atau juga dengan ayat al-quran, maka pasti ada yang melatarbelakanginya. Dalam hal ini juga perlu digunakan pendekatan-pendekatan yang sah dan tepat yang sesuai dengan tuntutan kandungan matan yang bersangkutan tersebut.
3) Menyimpulkan hasil penelitian
Setelah langkah-langkah di atas ditempuh, langkah terakhir dalam penelitian matan adalah dengan cara menyimpulkan hasil penelitian matan tersebut. Karena kualitas matan itu sendiri hanya dikenal dua macam saja tidak lebih, yaitu shahih dan dhaif. Maka kesimpulan dari penelitian matan nantinya akan berkisar pada dua macam kemungkinan tersebut. Selanjutnya didalam penelitian suatu matan hadits terdapat beberapa hal, yaitu sebagai berikut:
a) Jika dalam matan hadits terdapat tanda-tanda kepalsuan seperti lemah lafaznya, dan rusak maknanya atau bertentangan dengan teks al-quran yang shahih atau sebagainya, maka hal yang paling tepat guna untuk mengetahui sumbernya ialah dengan cara melihat kitab-kitab al-maudhu’at (kitab-kitab tentang hadits maudhu’). Dengan kitab-kitab ini juga dapat diketahui hadits yang mempunyai sifat-sifat tersebut, misalnya bahasan, takhrijnya, dan juga penjelasan tentang orang-orang yang memalsukannya. Di antara kitab-kitab tentang hadits maudhu’ yang disusun berdasarkan huruf hijaiyah adalah al-maudhuah al-kubrah karya Syekh Ali al-Qari al-Harawi, dan kitab yang disusun berdasarkan bab-bab fikih adalah Tanzihu syari’ah al-Marfu’ah anil ahadits syaniyah al-maudhu’ah karya Abul Hasan Ali bin Mu- hammad bin Iraq al-Kinany.
b) Jika matan termasuk hadits qudsi, maka sumber yang paling tepat untuk mencarinya adalah dengan kitab-kitab yang khusus menghimpun hadits qudsi itu sendiri, karena di dalamnya telah disebutkan perawinya secara gamblang (lengkap). Di antara kitab-kitab tersebut adalah Misyakatul anwar fi ma ruwiyah anillahi subhanahu wa ta’ala minal akhbar, karya Muhyidin Muhammad bin Ali bin Arabi al-Khatimi al-Andalusi, yang mengimpun 101 hadits lengkap dengan sanadnya. Al-Ithafus-saniyyah bil ahaditsi qudisiyah, karya Syekh Rauf al-Munawi.
Dalam kaitan hal tersebut, maka menurut jumhur ulama hadits, bahwa tanda-tanda matan hadist yang palsu adalah:
1) Susunan bahasanya rancu. Rasulullah Saw. yang sangat fasih dalam berbahasa Arab dan memiliki gaya bahasa yang khas, sehingga akan mustahil mengeluarkan pernyataan yang rancu tersebut. 2) Kandungan pernyataannya tersebut bertentangan dengan akal sehat dan sangat sulit ditafsirkan secara rasional dan juga sulit untuk dimengerti. 3) Kandungan pernyataan-pernyataannya bertentangan dengan tujuan pokok ajaran Islam, contohnya seperti berisi ajaran untuk berbuat maksiat. 4) isi kandungan pernyataannya bertentangan dengan sunnatullah (hukum alam). 5) Kandungan pernyataan bertentangan dengan fakta sejarah. 6) isi kandungan pernyataannya bertentangan dengan petunjuk al-quran ataupun hadist mutawatir yang telah mengandung petunjuk secara pasti. 7) Kandungan pernyataannya berada di luar kewajiban diukur dari petunjuk umum ajaran Islam, contohnya yaitu: amalan-amalan tertentu yang menurut ajaran agama islam dinyatakan sebagai amalan yang tidak seberapa, tetapi diiming-imingi dengan balasan pahala yang sangat luar biasa.
Pelaksanaan kritik matan hadis Agar upaya pelaksanaan kritik matan mencapai sasaran dan tujuan yang diinginkan, maka diperlukan adanya pedoman atau petunjuk pelaksanaannya, termasuk juga tata urutan segenap kegiatan dalam melakukan kritik yang dimaksud. Sebagian para ulama menetapkan langkah-langkah kritik matan yang terdiri dari:
a.       Bidang kebahasaan, termasuk kritik teks yang mencermati keaslian dan kebenaran teks, format qauli atau format fi'li. Target untuk analisis proses kebahasaan matan hadis ini tertuju pada upaya penyelamatan hadis dari segi pemalsuan dan jaminan kebenaran teksnya hingga ukuran sekecil-kecilnya. Langkah metodologis ini bertaraf kritik otentisitas dokumenter (naqd taqnini ikhtilathi). Temuan hasil analisisnya bisa mengarah pada gejala mudhtarif, mawdhu', mudraj mudhtarif tafarrud, ziyadat al-tsiqah, mu’allal, mushahhaf muharraf dan lain sebagainya.
b.      Analisis terhadap isi kandungan makna (konsep doktrin) pada matan hadis. Target kerja analisisnya berorientasi langsung pada suatu aplikasi ajaran yang berstatus layak diamalkan, harus dikesampingkan atau ditangguhkan pemanfaatannya sebagai hujjah syar’iyyah. Kategori kritiknya adalah naqd tathbiqi. Hasil temuan analisisnya bisa menjurus pada gejala: munkar, syadz ta'arudh (kontradiksi), atau mukhtalif  (kontroversi).
c.       Penelusuran ulang nisbah (asosiasi) pemberitaan dalam matan hadis kepada narasumber. Target analisisnya terkait dengan potensi kehujjahan hadis dalam upaya merumuskan norma syari’ah. Karenanya perlu dikembangkan uji nisbah (asosiasi) Kandungan makna yang termuat dalam suatu matan hadis, apakah benar-benar melibatkan peran aktif nabi Saw. Ataukah hanya sebatas praktek keagamaan para sahabat atau tabiin atau semata-mata karena fatwa pribadi mereka itu sendiri. Hasil temuan analisisnya menjurus pada data marfu’, mawquf, maqthu’ atau sebatas atsar atau kreatifitas ijtihad.
Terkait dengan kebutuhan praktis penggalian suatu makna (substansi konsep doktrinal) atas setiap ungkapan matan hadis tersebut, dibutuhkan langkah metodologi pengembangan makna hadis. Akumulasi metode bagi pengembangan makna hadis (sunnah) telah memunculkan sejumlah teori atau kaidah dalam ‘Ilmu Ma'ani al-hadis atau ilmu Fiqh al-Hadis dan Ilmu Gharib al-Hadis. Kaidah analisis untuk mensifati gejala ungkapan metaforik, analogis, retorik, lambang, sindiran, tamsil, jawami’ al-kalim dan lain sebagainya.[28]

Metode Kritik Matan Menurut Al-Adlabi
Tolok ukur yang digunakan dalam kritik matan tidak lepas dari unsur syadz dan ‘illah dalam kaedah kesahehan hadis. Menurut al-Khatib al-Bagdadi (w. 463 H/ 1072 M) bahwa suatu matan hadis dapat dinyatakan maqbul sebagai matan hadis yang sahih apabila memenui unsur-unsur sebagai berikut:
1)      Tidak bertentangan dengan akal sehat
2)      Tidak bertentangan dengan hukum al-Qur’an yang telah muhkam (ketentuan hukum yang telah tetap)
3)      Tidak bertentangan dengan hadis mutawatir
4)      Tidak bertentangan dengan amalan yang telah menjadi kesepakatan ulama masa lalu (ulama salaf)
5)      Tidak bertentangan dengan dalil yang telah pasti, dan
6)      Tidak bertentangan dengan hadis ahad yang kualitas kesahihannya lebih kuat[29]
Tolok ukur yang dikemukakan di atas, hendaknya tidak satupun matan hadis yang bertentangan dengannya. Sekiranya ada, maka matan hadis tersebut tidak dapat dikatakan matan hadis yang sahih.




























“ARTIKEL TKHRIJ HADIS 2.pdf,” n.d.
Febriana Fauzi, Niki Alma. “MANHAJ KRITIK MATAN ‘Ā’ISYAH RA.” Muwazah, no. Vol 5, No 1: Juni 2013 (2013). http://e-journal.stain-pekalongan.ac.id/index.php/Muwazah/article/view/341.
Hudaya, Hairul. “METODOLOGI KRITIK MATAN HADIS MENURUT AL-ADLABIDARI TEORI KE APLIKASI.” Jurnal Ilmu Ushuluddin, no. Vol 13, No 1 (2014): Jurnal Ilmu Ushuluddin (2014): 29–40.
“kritik sanad 2.pdf,” n.d.
Nadhiran, Hedhri. “KRITIK SANAD HADIS: Tela’ah Metodologis.” JIA (Jurnal Ilmu Agama), no. Vol 15, No 1 (2014): Jurnal Ilmu Agama (2014): 91–109.
Nasrullah, Nasrullah. “METODOLOGI KRITIK HADIS: (STUDI TAKHRIJ AL-HADIS DAN KRITIK SANAD).” Hunafa: Jurnal Studia Islamika, no. Vol 4, No 4 (2007): STUDI KEISLAMAN (2007): 403–16.
———. “METODOLOGI KRITIK HADIS:(STUDI TAKHRIJ AL-HADIS DAN KRITIK SANAD).” HUNAFA: Jurnal Studia Islamika 4, no. 4 (2007): 403–416.
Nurkholidah, Nurkholidah. “KRITIK HADIS PERSPEKTIF GENDER (Studi Atas Pemikiran Fatima Mernissi).” Holistik 15, no. 1 (2016). http://www.syekhnurjati.ac.id/jurnal/index.php/holistik/article/view/433.
Rahman, Muhammad S. “KAJIAN MATAN DAN SANAD HADITS DALAM METODE HISTORIS.” Jurnal Ilmiah Al-Syir’ah 8, no. 2 (2016). http://journal.iain-manado.ac.id/index.php/JIS/article/view/15.
Suryadi, Mr. “REKONSTRUKSI KRITIK SANAD DAN MATAN DALAM STUDI HADIS.” ESENSIA: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, no. Vol 16, No 2 (2015) (2015). http://ejournal.uin-suka.ac.id/index.php/esensia/article/view/996.
Wahid, Abd. “METODE PENELITIAN DAN PEMAHAMAN HADIS MUSYKIL.” Substantia, no. Vol 15, No 2 (2013) (2013). http://substantiajurnal.org/index.php/subs/article/view/18.
Wahyudi, Arif. “KRITIK MATAN (Sebuah Upaya Menjaga dan Meneropong Orisinalitas Hadîts).” AL-IHKAM, no. Vol 4, No 2 (2009) (2009): 169–86.



[1] Nurkholidah Nurkholidah, “KRITIK HADIS PERSPEKTIF GENDER (Studi Atas Pemikiran Fatima Mernissi),” Holistik 15, no. 1 (2016), http://www.syekhnurjati.ac.id/jurnal/index.php/holistik/article/view/433.
[2] Nasrullah Nasrullah, “METODOLOGI KRITIK HADIS: (STUDI TAKHRIJ AL-HADIS DAN KRITIK SANAD),” Hunafa: Jurnal Studia Islamika, no. Vol 4, No 4 (2007): STUDI KEISLAMAN (2007): 403–16.
[3] Ibid.
[4] Mudallis berasaI dari kata tadlis yang berarti menyembunyikan aib. Dalam ilmu hadist hal yang disembunyikan adalah sanad atau guru tempat menerima hadist. Tadlis ada dua macam (a) Tadlis al-Isnad yaitu seorang rawi tidak menyebutkan syekhnya (guru tempat ia menerima hadist) tapi lansung meriwayatkan dari - guru dari gurunya (b) Tadlis al-Syuyukh yaitu seorang rawi menyebutkna gurunya dengan nama atau gelar yang tidak dikenal dikalangan orang lain. Abd al-Karim Hurrah at al, Min athyabi al Manhi Fi’ilm al-Mushthalah, AI-Mamlakah al-‘Arabiyah al-Su’udiyah, AI-Jami’ah aI--Islamiyah Bi al-Madinati a1-Munawwarah, 1415 H, ha127“ARTIKEL TKHRIJ HADIS 2.pdf,” n.d.
[5] Ibid.
[6] Para ahli berbeda dalam menuliskan urutan kelima metode tersebut. Al-Thahhan menuliskan dengan urutan (1) dengan cara mengenal rawi pertama (2) dengan cara mengenal lafal pertama matan Hadist (3) dengan cara mengenal lafal Hadist yang jarang terpakai (4) Dengan cara mengidentifikasi tema Hadist dan (5) dengan cara melihat keadaan matan dan sanad Hadist. Lihat al-Thahhan, op cit, hal 35. A1-Mahdi mengurutnya dengan urutan (1) Takhrij menurut lafal pertama Hadist (2) menurut lafal-lafal yang terdapat dalam Hadistt (3) menurut perawi terakhir (sahabat) (4) menurut tema Hadistt dan (5) menurut klasifikasi jenis Hadist. Lihat ‘Abd al-Mahdi, op cit, hal 15. Berbeda dengan kedua ahli diatas yang mengajuakan lima metode, Suhudi Isma’il hanya mengejukan dua metode dengan urutan (1) takhrij hadistmelalui lafal dan (2) takhrij hadist melalui tema Hadist. Lihat Isma’il. Op cit,hal 46.
[7] Mr. Suryadi, “REKONSTRUKSI KRITIK SANAD DAN MATAN DALAM STUDI HADIS,” ESENSIA: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, no. Vol 16, No 2 (2015) (2015), http://ejournal.uin-suka.ac.id/index.php/esensia/article/view/996.
[8] Nurkholidah, “KRITIK HADIS PERSPEKTIF GENDER (Studi Atas Pemikiran Fatima Mernissi).”
[9] Suryadi, “REKONSTRUKSI KRITIK SANAD DAN MATAN DALAM STUDI HADIS.”
[10] Hedhri Nadhiran, “KRITIK SANAD HADIS: Tela’ah Metodologis,” JIA (Jurnal Ilmu Agama), no. Vol 15, No 1 (2014): Jurnal Ilmu Agama (2014): 91–109.
[11] Ibid.
[12] Suryadi dan M. Alfatih Suryadilaga, Metodologi Penelitian Hadis, (Yogyakarta: Teras dan TH Press, 2009), hlm. 99-100.
[13] “kritik sanad 2.pdf,” n.d.
[14] Niki Alma Febriana Fauzi, “MANHAJ KRITIK MATAN ‘Ā’ISYAH RA,” Muwazah, no. Vol 5, No 1: Juni 2013 (2013), http://e-journal.stain-pekalongan.ac.id/index.php/Muwazah/article/view/341.
[15] “kritik sanad 2.pdf.”
[16] Arif Wahyudi, “KRITIK MATAN (Sebuah Upaya Menjaga dan Meneropong Orisinalitas Hadîts),” AL-IHKAM, no. Vol 4, No 2 (2009) (2009): 169–86.
[17] Ibid.
[18] Ibid.
[19] Febriana Fauzi, “MANHAJ KRITIK MATAN ‘Ā’ISYAH RA.”
[20] Nasrullah Nasrullah, “METODOLOGI KRITIK HADIS:(STUDI TAKHRIJ AL-HADIS DAN KRITIK SANAD),” HUNAFA: Jurnal Studia Islamika 4, no. 4 (2007): 403–416.
[21] Ibid.
[22] Muhammad S. Rahman, “KAJIAN MATAN DAN SANAD HADITS DALAM METODE HISTORIS,” Jurnal Ilmiah Al-Syir’ah 8, no. 2 (2016), http://journal.iain-manado.ac.id/index.php/JIS/article/view/15.
[23] Ibid.
[24] Nadhiran, “KRITIK SANAD HADIS: Tela’ah Metodologis.”
[25] Abd. Wahid, “METODE PENELITIAN DAN PEMAHAMAN HADIS MUSYKIL,” Substantia, no. Vol 15, No 2 (2013) (2013), http://substantiajurnal.org/index.php/subs/article/view/18.
[26] Ibid.
[27] Rahman, “KAJIAN MATAN DAN SANAD HADITS DALAM METODE HISTORIS.”
[28] Wahid, “METODE PENELITIAN DAN PEMAHAMAN HADIS MUSYKIL.”
[29] Hairul Hudaya, “METODOLOGI KRITIK MATAN HADIS MENURUT AL-ADLABIDARI TEORI KE APLIKASI,” Jurnal Ilmu Ushuluddin, no. Vol 13, No 1 (2014): Jurnal Ilmu Ushuluddin (2014): 29–40.

0 komentar:

Posting Komentar