PENDIDIKAN KARAKTER MENURUT SUNAN
KALI JAGA
PROPOSAL
Oleh :
AGUNG KARISMA PUTRA
NPM. 1501010149
JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
(PAI)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI
IAIN METRO
LAMPUNG
ABSTRAK
PENDIDIKAN
KARAKTER MENURUT SUNAN KALIJAGA
Oleh:
Agung
karisma putra
Pendidikan
karakter menurut sunan kalijaga, latar belakang penelitian ini adalah semakin
terbukanya budaya asing yang begitu mudahnya masuk ke Indonesia. Hal ini
tentunya sangat mempengaruhi pergaulan, gaya hidup dan juga karakter pada diri
generasi muda pada saat ini. Dalam hal ini tentunya harus ada filter atau
penyaring agar masuknya budaya asing ke Indonesia tidak membawa dampak buruk
bagi kehidupan social khususnya yaitu bagi kebudayaan asli Indonesi ini. Salah
satu cara yang dapat dilakuhkan yaitu dengan cara menanamkan karakter diri baik
generasi muda dengan cara pendidikan karakter. Hal ini tidaklah melalui buku
saja, namun harus di sertai dengan contoh konkret sangat diperlukan dalam
memberikan keteladanan bagi generasi muda. Dapat kita ambil dari salah satu
wali songo, yaitu raden Said atau lebih dikenal dengan sunan kalijaga ini,
merupakan salah satu sosok teladan yang dapat menginspirasi generasi muda saat
ini, agar dapat mempertahankan kebudayaan asli Indonesia ditengah hegomoni
kebudayaan barat pada saat ini. Selain seorang wali sunan kalijaga juga
merupakan budayawan pada masa itu, hal yang menarik dari sunan kalijaga
ialah pendidikan karakter melalui seni
budaya. Dan juga melalui tembang lagu, syair lir-ilir karya Sunan Kalijaga dan kemudian mencari titik
titik relevansi yang relevan dengan Pendidikan
Islam. Syair lir-ilir ini merupakan syair yang sudah dikenal luas oleh
masyarakat khususnya masarakat jawa. Sehingga ketika pemerintahan Indonesia
mengemukakan pentingnya
pendidikan karakter, sebenarnya dari dulu sudah dilakuhkan atau diajarkan oleh
para tokoh seperti Sunan kalijaga dan tokoh-tokoh
lainnya. Sunan kalijaga telah
mengajarkannya kepada masyarakat tentang pentingnya pembentukan karakter seperti yang terkandung didalam syair lir-ilir. dalam syair lir-ilir karya Sunan Kalijaga ini
terdapat nilai-nilai
pendidikan karakter yaitu, nilai jujur, nilai religius, nilai disiplin, nilai
toleransi, nilai kerja keras, nilai mandiri, nilai kreatif, nilai demokratis,
nilai rasa ingin tahu, nilai semangat
kebangsaan, nilai cinta tanah air, nilai menghargai prestasi, nilai bersahabat/komunikatif, nilai cinta damai, nilai
gemar membaca, nilai peduli lingkungan, nilai
peduli sosial, serta nilai tanggung jawab. Dalam hal metode pendidikan terdapat juag metode pembiasaan, metode
perumpamaan, metode permainan, dan juga metode
keteladanan. Dalam hal evaluasi terdapat evaluasi observasi partisipan yang dilakukan oleh cah angon.
ABSTRACT
CHARACTER
EDUCATION BY KALIJAGA HOLIDAYS
By:
Agung Karisma
Putra
Character
education according to sunan kalijaga, the background of this research is the
opening of foreign culture that is so easy to enter Indonesia. This is
certainly very affecting the association, lifestyle and also the character of
the young generation at this time. In this case of course there must be a
filter or filter for the entry of foreign culture to Indonesia does not bring
adverse impact on social life, especially for indigenous culture of this
Indonesi. One way that can dilakuhkan is by inculcating the character of the
good self the young generation by way of character education. This is not
through books alone, but must be accompanied by concrete examples are necessary
in providing exemplary for the younger generation. We can take from one of the
guardian songo, raden Said or better known as sunan kalijaga, is one of the
exemplary figure that can inspire the young generation today, in order to
maintain the original culture of Indonesia amid the hegemony of western culture
at this time. In addition to a guardian sunan kalijaga also a culturalist at
the time, the interesting thing of sunan kalijaga is character education
through art and culture. And also through song song, Sunan Kalijaga's lir-ilir
lir-ilir and then look for relevant relevance point of relevance to Islamic
Education. This lir-ilir poem is a poem that has been widely known by the
community, especially the community of Java. So when the Indonesian government
put forward the importance of character education, actually from the first has
been dilakuhkan or taught by the figures such as Sunan Kalijaga and other
figures. Sunan Kalijaga has taught the community about the importance of
character formation as contained in the lir-ilir poem. In Sunan Kalijaga's
lir-ilir poem there are values of character education that is, honest value,
religious value, discipline value, tolerance value, hard work value,
independent value, creative value, democratic value, curiosity value, The value
of love of the homeland, the value of achievement, the value of friendship / communicative,
the value of peaceful love, the value of reading, the value of environmental
care, the value of social care, and the value of responsibility. In terms of
educational methods there are methods of habituation, parable methods, game
methods, and exemplary methods. In terms of evaluation there is an evaluation
of participant observation conducted by Cah Angon.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas taufik hidayah
serta inayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan Proposal ini.
Penulisan Proposal ini merupakan salah satu bagian dari persyaratan untuk
menyelesaikan mata kuliah Metodologi Penelitian Pendidikan untuk memenuhi tugas ujian akhir semester.
Dalam upaya penyampaian Proposal ini, penulis telah menerima banyak
bantuan serta bimbingan dari beberapa pihak. Oleh karena itu, penulis
mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dedi Wahyudi, M. Pd. I selaku dosen
pengampu yang telah memberikan bimbingan yang sangat berharga dalam mengarahkan
serta memberikan motivasi. Ucapan terima kasih juga penulis haturkan kepada
pihak yang membantu dalam penelitian.
Kritik serta saran demi perbaikan proposal ini sangat diharapkan dan akan
diterima dengan kelapangan dada. Dan akhirnya semoga hasil penelitian yang
telah dilakukan kiranya dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan
agama Islam.
Metro, April 2017
Penulis
Agung Karisma Putra
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam proses penyebaran agama islam di Indonesia,
tidak terlepas dari peran penting para wali songo yang begitu
gigihnya guna untuk memperjuangkan serta menyebarluaskan ajaran agama islam.
Ajaran-ajaran agama Islam ini disebarkan melalui berbagai macam
media seperti syair, budaya wayang, cerita, dan lain sebagainya
yang dapat memberikan pemahaman bagi masyarakat jawa. Setiap wali songo
memiliki
karakter yang berbeda-beda dalam menyebarkan agama Islam sehingga
dengan perbedaan
inilah nantinya akan menjadikan penyebaran Islam lebih bervariasi.
Salah satu wali songo yaitu sunan kalijaga cukup
menarik untuk dicermati dalam menyebarkan agama islam di pulau jawa, karena
bagi mayoritas orang-orang jawa sunan
kalijaga adalah salah seorang wali yang berasal dari keturunan Jawa asli,
walaupun
asal muasal Sunan Kalijaga ini masih menjadi perdebatan diantara para ahli
sejarah.
Bahkan sebagian orang-orang Jawa ada yang menganggap
sunan kalijaga adalah sebagai guru agung (besar) dan suci di tanah jawa. Oleh
karena itulah,
setelah Sunan Kalijaga masuk kedalam jajaran dewan wali songo guna untuk
menyebar luaskan ajaran agama Islam, banyak sekali
masyarakat jawa yang tertarik dengan agama islam. Dalam menyebar luaskan agama
Islam, Sunan Kalijaga menggunakan cara-cara yang bias
dibilang cukup unik dan kretif pada zamannya. Yaitu sunan kalijaga mencoba
untuk mengenalkan agama Islam melalui kegiatan-kegiatan
budaya orang-orang Jawa, sehingga ajaran agama islam yang dibawa oleh
Sunan Kalijaga tersebut lebih mudah untuk di fahami dan dimengerti oleh
masyarakat.
Salah satunya, yaitu sunan kalijaga menggunakan
media-media kultural yang pada
zaman itu sudah dikenal serta berkembang dimasyarakat seperti suluk, wayang dan
lagu-lagu gubahan.
Lagu gubahan tersebut yang cukup terkenal dikalangan masyarakat jawa adalah
syair lir-ilir. Syair lir-ilir ini menggunakan bahasa Jawa yang
terdiri dari empat bait dengan tiga sampai empat baris disetiap
baitnya. Masing-masing dari setaiap baris tersebut mengandung suatu
pesan
yang sangat mendalam, yang sangat berkaitan juga dengan nilai-nilai yang
diperlukan guna untuk menciptakan susunan masyarakat
yang baik dan bermartabat serta tentram nantinya. Dan juga masing-masing baris
tersebut
saling bersambungan satu sama lainnya sehingga akan menciptakan pemahaman dalam
satu bait
syair tersebut[1].
Dengan menggunakan syair lir-ilir inilah Sunan
Kalijaga menyampaikan pendidikan karakter, yaitu melalui bentuk permainan yang
sudah biasa dilakukan oleh masyarakat kusunya masarakat jawa[2]. Sehingga
ajaran-ajaran kehidupan yang cenderung susah untuk dipahami oleh masyarakat,
bisa
menjadi budaya dan telah menjadi kebiasaan sehari-sehari masarakat jawa.
Bagi mayoritas orang-orang jawa istilah cah angon
ini bukanlah istilah yang asing lagi bagi mereka. Cah angon adalah merupakan
seorang anak yang memiliki kebiasaan menggembala hewan-hewan ternak
seperti
sapi, kambing, kerbau, dan hewan-hewan ternak lainnya. Pekerjaan menggembala
ini biasanya hanya dilakukan oleh anak-anak yang memiliki kelas
ekonomi menengah kebawah. Namun walaupun demikian pekerjaan cah angon ini
merupakan pekerjaan orang-orang bawah, tetapi disini sunan kalijaga
ingin mengungkapkan nilai-nilai yang mendalam dari karakter yang
dimiliki oleh cah angon tersebut.
Ketika cah angon menggembalakan gembalanya, maka ia
harus berusaha untuk mengatur atau memanagemen segala keinginan dan
kebutuhan
hewan-hewan gembalanya tersebut. Kemudian dari pekerjaan menggembala itulah,
cah
angon juga harus belajar untuk peduli terhadap situasi dan kondisi yang sedang
dihadapinya
supaya hewan-hewan gembalanya itu bisa selamat dari marabahaya. Cah angon
tersebut harus bisa tahu dimana arah untuk menuju
sumber makanan bagi hewan gembalaannya, dan kemana arah yang dapat
mengakibatkan
gembalanya itu bisa mendapatkan masalah. Dari sosok cah angon inilah,
banyak
sekali pendidikan karakter yang dapat diambil pelajarannya serta dijadikan
contoh hidup yang baik.
Namun walaupun demikian, pendidikan ajaran agama
islam sekarang ini kurang begitu memperhatikan
budaya-budaya lokal yang sudah ada di Indonesia. Padahal budaya-budaya lokal
seperti syair lir-ilir dari karya Sunan Kalijaga ini memiliki kandungan makna
yang
sangat dalam dan luas artinya yang mampu untuk memberikan arah terhadap
pendidikan ajaran agama Islam. Pendidikan agama islam sekarang
cenderung hanya memperhatikan materi-materi pembelajarannya
saja, dan banyak sekali melupakan aspek-aspek yang lainnya seperti lemahnya
aspek
metodologi pembelajaran. Sehingga materi pendidikan agam islam lebih
terkonsentrasi
pada pengetahuan saja dan kehilangan aspek-aspek yang lainnya, seperti
halnya aspek afektif dan aspek psikomotoriknya. Sehingga akibatnya,
anak-anak
didik pendidikan Indonesia kaya akan kemampuan yang hanya bersifat hard skill
namun
miskin akan soft
skill nya karena
ranah afektif yang terabaikannya tersebut. Gejala ini tampak pada
output
pendidikan yang memiliki intelektual tinggi, pintar, juara kelas, namun miskin
akan kemampuan
membangun relasinya, bekerjasama dan cenderung egois, bahkan tertutup.[3]
Menurut Ibn Taimiyah, pendidikan agama islam ini
memiliki fungsi yang sangat setrategis
bagi kehidupan manusia, yaitu pertama pendidikan agama islam merupakan jalan
guna untuk mewujudkan masyarakat Islami, yaitu mampu
untuk mengatur hubungan sosial yang sejalan dengan syariat Islam
tersebut, kedua sebagai sarana guna untuk membina kepribadian
muslim yang baik, mampu berfikir, merasa, dan berbuat sebagaimana diperintahkan
oleh
ajaran agama islam, ketiga pendidikan agama islam ini merupakan sarana untuk
mendakwahkan ajaran agama islam sebagai tatanan untuk universal dalam pergaulan hidup diseluruh
dunia[4]. Tetapi dengan kondisi
pendidikan agama islam yang hanya berpusat kepada pengetahuan kognitif saja,
fungsi
pendidikan agama islam akan sangat sulit untuk berjalan. Oleh
karena itu, penulis merasa perlu mengkaji masalah Pendidikan Karakter
menurut Sunan Kalijaga[5].
B. Rumusan Masalah
1.
Apakah
konsep pendidikan karakter menurut Sunan Kalijaga ?
2.
Apa
saja nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam
tembang ilir-ilir ?
3.
Apa saja pesan-pesan sunan kalijaga lewat karakter
punakawan ?
C. Tujuan penelitian
1.
Untuk
mengetahui pendidikan karakter menurut Sunan Kalijaga.
2.
Untuk
mengetahui nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam
tembang ilir-ilir
3. Untuk
mengetahui pesan-pesan sunan kalijaga lewat karakter punakawan
D.
Manfaat
Penelitian
1. Dapat
menambah khazanah ilmui tentang nilai-nilai pendidikan karakter menurut sunan
kalijaga
2. Diharapkan
dapat memberikan suatu pencerahan bagi para pembacanya bahwa dalam suatu cerita
atau kisah mempunyai hikmah dan pelajaran yang dapat diteladani serta sebagai
media dalam menyampaikan nilai-nilai pendidikan karakter
3. Bagi
peneliti tentunya untuk memperluas serta menambah wawasannya mengenai
pendidikan karakter dan memahaminya yang juga menjadi pilihannya yaitu
pendidikan agama islam
BAB II
LANDASAN
TEORI
A.
Nilai dan Pendidikan Karakter
a)
Nilai - nilai dalam bahasa Inggris disebut value dari bahasa yunani valere yang berarti
berguna, mampu akan, berdaya, berlaku, atau kuat. Sedangkan dalam bahasa
Indonesia nilai berarti harga (taksiran, perbandingan), harga, derajat
(pandangan), angka, serta mutu.
Sedangkan
menurut istilah nilai adalah segala sesuatu yang dianggap berharga dan
menjadi tujuan yang hendak dicapai. Menurut
brubacher nilai dibagi menjadi dua jenis, yaitu: 1) Nilai
instrumental, yaitu nilai yang dianggap baik karena bernilai untuk
sesuatu yang lain. Nilai itu terletak pada konsekuensi-konsekuensi pelaksanaannya dalam
mencapai nilai yang lain. 2) Nilai
intrinsik, yaitu nilai yang dianggap baik tidak untuk sesuatu yang
lain, melainkan di dalam dan darinya sendiri.
b)
Pendidikan
Karakter
Kata karakter
berasal dari bahasa latin kharassein, kharak dan kharakter, yang artinya tools for marking, to engrave dan pointed stake. Kata-kata ini mulai banyak digunakan pada abad ke 14 dalam bahasa perancis caratere, kemudian masuk dalam bahasa Inggris menjadi character, lalu masuk dalam bahasa Indonesia karakter.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia karakter adalah sifat-sifat
kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang guna untuk membedakan seseorang dengan
orang lain.
Sedangkan
Scerenko mendefinisikan karakter yaitu sebagai ciri-ciri atau atribut
yang membentuk dan membedakan ciri etis, ciri pribadi, dan kompleksitas mental dari seseorang, suatu
kelompok atau bangsa. Maka dalam hal ini karakter dapat dipahami sebagai nilai
dasar yang membangun pribadi seseorang, terbentuk baik karena pengaruh hereditas maupun
pengaruh lingkungan, yang membedakannya dengan orang lain,
serta diwujudkannya dalam sikap dan perilakunya dalam kehidupan
sehari-hari.
Menurut Thomas Lickona, karakter merupakan sifat
alami seseorang dalam merespon situasi secara bermoral. Sifat alami
itu diartikan dalam tindakan nyata melalui tigkah laku yang baik,
bertanggung jawab, jujur, serta menghormati orang lain dan karakter mulia lainnya.
Pengertian yang dikemukakan Lickona ini mirip dengan apa yang
diungkapkan Aristoteles, bahwa karakter itu erat kaitannya dengan “habit” atau
kebiasaan yang terus menerus dilakukan. Lebih jauh, Lickona menekankan
tiga hal dalam mendidik karakter, yaitu: mengetahui sesuatu (knowing),
merasakan sesuatu (feeling), dan melakukan sesuatu dengan baik (acting
the good). Menurutnya keberhasilan pendidikan karakter dimulai dengan
pemahaman karakter yang baik, mencintainya dan pelaksanaan atau peneladanan
atas karakter yang baik itu.[6]
Sedangkan menurut Doni Koesoema karakter
diartikan dengan temperamen yang memberinya sebuah definisi yang menekankan
unsur psikososial yang dikaitkan dengan pendidikan dan konteks lingkungan[7].
Dalam pengertian
sederhana pendidikan karakter adalah hal-hal positif apa saja yang
dilakukan guru dan berpengaruh kepada siswa yang diajarnya.
Pendidikan karakter juga dapat didefinisikan yaitu sebagai pendidikan yang
mengembangkan karakter yang mulia (good character) dari peserta didik dengan mempraktikkannya serta
mengajarkan nilai-nilai moral dan pengambilan keputusan
yang beradab dalam hubungan dengan sesama manusia maupun dalam
hubungannya terhadap Tuhannya. Jadi dapat dipahami bahwa
yang dimaksud pendidikan karakter di sini yaitu suatu
proses pemberian tuntunan kepada peserta didiknya guna untuk membangun atau menjadikannya
manusia yang berkarakter dalam hal dimensi hati, pikir, raga, serta
rasa dan karsa. Menurut Foerster, pencetus pendidikan
karakter dan peadog Jerman, terdapat empat ciri dasar dalam
pendidikan karakter, yaitu: 1) Keteraturan interior yang setiap tindakan
diukur berdasar herarki nilai. 2) Koherensi yang yang memberi keberanian, membuat
seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang
ambing pada situasi baru atau takut akan resiko. 3) Otonomi yang dalam
hal tersebut seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai
menjadi nilai-nilai bagi pribadi. 4) Keteguhan dan kesetiaan.
Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna untuk melakuhkan apa yang
dipandang atau dianggapnya baik, sedangkan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan
atas komitmen yang dipilih.
Pendidikan
karakter disebut tidak jauh berbeda dengan pendidikan nilai bahkan ada yang
menyebutkan itu sama dengan pendidikan nilai. Dalam hal pelaksanaanya
nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan
karakter bangsa menurut Kemendiknas adalah sebagai berikut:
a.
Religius, merupakan sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan
ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan
ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.
b.
Jujur, perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai
orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, perbuatan dan pekerjaan.
c.
Toleransi,
sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku,
etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda
dengan dirinya.
d.
Disiplin, suatu tindakan yang menunjukkan atau mencerminkan perilaku
tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.
e.
Kerja keras, yaitu perilaku yang menunjukkan suatu upaya ke sungguh-sungguhhan
dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta
menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.
f.
Kreatif, berpikir dalam melakukan sesuatu guna untuk menghasilkan cara atau hasil
baru dari sesuatu yang telah dimiliki
g.
Mandiri, yaitu suatu sikap dan perilaku yang tidak mudah untuk bergantung
pada orang lain atau mengharapkan bantuan dari orang lain dalam menyelesaikan
tugas-tugas.
h.
Demokratis, cara berpikir, bersikap dan bertindak yang menilai sama hak dan
kewajiban dirinya dan orang lain.
i.
Rasa
ingin tahu, sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui
lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
j.
Semangat kebangsaan (negara), cara berpikir, bertindak dan berwawasan yang
menempatkan kepentingan bangsa dan Negara diatas kepentingan diri dan
kelompoknya.
k.
Cinta tanah air, yaitu cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan
kesetiaan, kepedulian dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik,
sosial, budaya, ekonomi, politik dan bangsa.
l.
Menghargai prestasi, sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk
menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat dan mengakui serta menghormati
keberhasilan orang lain.
m.
Bersahabat/komunikatif, tindakan yang memperlihatkan senang
berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain.
n.
Cinta damai, yaitu sikap, perkataan dan tindakan yang menyebabkan
orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya.
o.
Gemar membaca, kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai
bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.
p.
Peduli lingkungan, sikap dan tindakan yang selalu ingin berupaya
mencegah kerusakan pada lingkungan alam disekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya
untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.
q.
Peduli sosial, sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan kepada
orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.
r.
Tanggung jawab, sikap dan perilaku seseor ang untuk melaksanakan
tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan terhadap diri sendiri,
masyarakat, lingkungan (alam, sosial, dan budaya), Negara dan Tuhan
Yang Maha Esa.
Kedelapan belas
butir nila-nilai karakter tersebut adalah butir nilai yang telah teridentifikasi
oleh kemendiknas yang bersumber dari nilai agama, Pancasila, budaya dan tujuan
pendidikan nasional. Dalam praktiknya, guru-guru, sekolah atau lembaga
pendidikan diperbolehkan untuk menambah, mengurangi, atau menyesuaikan
nilai-nilai karakter yang dibina di lembaganya.
Selain kedelapan
belas butir nilai-nilai karakter diatas, ada juga beberapa butir nilai dari sumber lainnya
yang bisa dijadikan acuan atau pedoman dalam melaksanakan pendidikan
karakter. Yaitu, antara lain dari direktorat pendidikan lanjutan pertama
direktorat pendidikan dasar dan menengah departemen pendidikan dan
kebudayaan telah menginventarisaasi domain budi pekerti islami
sebagai nilai-nilai karakter yang seharusnya dimiliki dan ditampilkan
dalam kehidupan sehari-hari oleh warga sekolah Islam dimana nilai
tersebut terdiri dari budi pekerti terhadap Tuhan yang maha esa, terhadap diri sendiri,
terhadap keluarga, terhadap orang lain, terhadap masyarakat dan
bangsa, serta terhadap alam lingkungan. Dari beberapa budi pekerti
terhadap masing-masing domain tersebut terdapat nilainilai karakter yang sesuai
dengan Alquran dan hadis yang sudah teridentifikasi dan beberapa nilai-nilai yang
masih bisa digali lebih lanjut.
a)
Pendidikan Islam
Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa
pendidikan karakter sebenarnya merupakan suatu inti dari
pendidikan Islam. Oleh karena itu, kajian pendidikan karakter dalam Islam tidak
bisa dilepaskan dari kajian pendidikan Islam pada umumnya.
Menurut Solicin bahwa membicarakan tentang Wali Sanga berarti membicarakan mengenai Islam di tanah Jawa. Oleh karena Wali
Sangalah
yang mempelopori (menyebarkan) agama Islam di bumi Jawa, indonesia.
Wali Sanga dianggap sebagai tokoh-tokoh sejarah yang
berkharismatik yang membumikan islam di tanah jawa yang sebelumnya berkembang bersama tradisi agama Hindu-Budha[8]
Atiyah al-Abrasy berpendapat bahwa yang
dimaksud dengan pendidikan Islam, bukanlah untuk memenuhi
otak anak didik dengan segala macam ilmu yang belum mereka ketahui
sebelumnya, akan tetapi mendidik akhlak dan jiwa mereka, lalu menanamkan rasa
fadhilah (keutamaan), kemudian membiasakan mereka dengan kesopanan
yang tinggi, guna untuk mempersiapkan mereka untuk suatu kehidupan
yang suci ruhnya, ikhlas dan jujur. Jadi selain ilmu
pengetahuan, yang terpenting adalah akhlak mulia dan rasa keutamaan guna untuk
melengkapi pemahaman tentang pendidikan Islam, berikut ini akan
dikemukakan beberapa karakteristik pendidikan Islam, diantaranya :
1.
Pendidikan Islam adalah suatu bagian yang tidak dapat dipisahkan dari ajaran
agama islam, karena melalui pendidikan islam inilah seseorang akan
menjadi seorang muslim yang memiliki bekal yang cukup untuk melaksanakan ajaran.
2.
Pendidikan
Islam yaitu bertujuan untuk menciptakan peserta didik yang beriman dan
bertakwa kepada Allah Swt. berbudi pekerti luhur, serta memiliki
pengetahuan yang cukup luas tentang sumber ajaran agama islam
lainnya. Pada saat yang bersamaan, pendidikan islam juga dapat dijadikan bekal guna
untuk mempelajari berbagai bidang ilmu lainnya sehingga akan memperkuat pembentukan
karakter dan keilmuan seseorang.
3.
Pendidikan
islam tidak hanya menitik beratkan pada penguasaan pada penguasaan kompetensi yang
bersifat kognitif, tetapi juga yang lebih penting adalah
pencapaian pada aspek afektif (sikap) dan psikomotor (perilaku). Hasil dari
pendidikan Islam adalah sikap dan perilaku (karakter) peserta
didik sehari-hari yang sejalan dengan ajaran agama islam.
4.
Pendidikan islam dan seluruh ajaran agama islam pada umumnya, didasarkan pada
dua sumber pokok ajaran agama islam yaitu Alquran dan hadis.
Sementara itu para alim para alim ulama mengembangakan prinsipprinsip
pendidikan Islam yang lebih terperinci dan detail dalam bentuk fikih dan
hasil ijtihad lainnya.
5.
Prinsip-prinsip dasar pendidikan Islam tertuang dalam tiga kerangka dasar
ajaran Islam, yaitu akidah, syariah dan akhlak. Jika pendidikan
Islam seperti ini diimplementasikan dengan baik, dengan cara mendasari peserta didik
dengan fondasi (akidah) yang kokoh lalu mendorongnya untuk
melaksanakan semua ketentuan Allah dan Rasul-Nya (syariah) secara utuh. Dengan demikian
akan terbentuk peserta didik yang memiliki karakter (akhlak) mulia yang utuh, baik dalam
hubungan kepada Tuhan maupun hubungan kepada manusia,
serta memiliki pengetahuan dan kreatifitas yang memadai
6.
Tujuan
akhir dari pendidikan Islam adalah terbentuknya peserta didik yang
memiliki akhlak mulia (manusia berkarakter). Tujuan ini
adalah tujuan yang sebenarnya dari misi diutusnya Nabi. Dengan
demikian pendidikan akhlak (pendidikan karakter) adalah jiwa dari pendidikan Islam
(Marzuki, 2015: 13-14).
b)
Pendidikan
karakter dalam Islam
Seperti dijelaskan di atas bahwa karakter
identik dengan akhlak. Dalam prespektif Islam, karakter atau akhlak
mulia merupakan buah yang dihasilkan dari proses penerapan syariah
(ibadah dan muamalah) yang dilandasi oleh fondasi akidah yang
kokoh. Jadi tidak mungkin karakter mulia akan terwujud pada diri
seseorang jika tidak memiliki akidah dan syariah yang benar. Pendidikan
karakter dalam Islam atau akhlak Islami pada prinsipnya didasarkan
pada dua sumber pokok ajaran Islam, yaitu Alquran dan sunnah Nabi.
Dengan demikian, baik dan buruk dalam karakter Islam
memiliki ukuran yang standar, yaitu menurut Alquran dan sunnah Nabi,
bukan menurut ukuran atau pemikiran manusia pada
umumnya. Sebab jika ukurannya
adalah menurut akal manusia maka baik dan buruk itu bisa berbeda-beda. Pun
demikian, Islam tidak mengabaikan adanya standar atau ukuran lain
selain Alquran dan sunnah Nabi untuk menentukan nilai-nilai
karakter manusia. Standar lain yang dimaksud adalah akal, nurani, serta
pandangan umum (tradisi) yang disepakati nilainya oleh
masyarakat.
Secara umum kualitas karakter dalam
prespektif Islam dibagi menjadi dua yaitu karakter mulia (al-akhlāq
al-mahmūdah) dan karakter tercela
(al-akhlāq almadzmūmah). Sedangkan ruang lingkup pendidikan karakter dalam Islam dibagi
menjadi dua bagian yaitu, karakter kepada khalik (yang selanjutnya
disebut dangan istilah habl mina-llāh) dan karakter terhadap makhluk (selain Allah). Karakter terhadap makhluk
bisa dirinci lagi menjadi beberapa macam, seperti karakter
terhadap sesama manusia (yang selanjutnya disebut dengan istilah habl
mina-nnās), karakter
terhadap makhluk hidup selain manusia (seperti hewan dan tumbuhan), serta
terhadap benda mati (lingkungan dan alam semesta).
Di dalam Alquran banyak contoh mengenai
karakter terhadap Allah yaitu mentuhidkan-Nya (QS. AlIkhlas:1-4), menaati
perintah Allah atau bertakwa (QS. Āli Imrān:132.). Selain itu Alquran juga
banyak mengaitkan akhlak kepada Allah dan kepada Rasulullah (QS. At-Taubah: 24),
(An-Nisā`: 59). Islam juga mengajarkan berakhlak kepada diri
sendiri, seperti kewajiban menjaga kesucian lahir dan batin (QS.
At-Taubah:108), memelihara kerapian (QS. Al-A’rāf: 31). Selanjutnya
setiap muslim juga harus membangun karakter dalam lingkungan
keluarganya. Seperti contoh berbakti kepada orang tua dan berkata lemah
lembut kepada mereka (QS. Al-Isrā’: 23). Dan masih banyak yang
lain contoh di dalam Alquran tentang karakter yang mulia[9].
B.
Inilah Pesan Sunan Kalijaga Lewat
Karakter Punakawan
1.
Punakawan
Sunan Kalijaga adalah salah satu tokoh wali somgo
penyebar agama Islam di tanah
Jawa, Indonesia. Sebagai sarana dakwahnya, dahulu Sunan Kalijaga mengkolaborasikan wayang kulit dari budaya Hindu
mengarah ke Islam. Sunan Kalijaga mengubah karakter –
karakter serta tokoh-tokoh pewayangan dari kisah Mahabharata menjadi senafas
dengan ajaran agama Islam. Salah satu karakter pewayangan yang dimunculkan
adalah Punakawan.
Nama Punakawan berasal dari
kata “Puna” yang berarti Susah dan “Kawan” yang berarti teman, yang diarikan sebagai teman di kala susah. Selain
itu, ada juga yang mengartikan Punakawan berasal dari
kata “Pana” yang berarti terang dan”Kawan” yang berarti teman, apabila diterjemahkan akan menjadi teman untuk
menuju jalan yang terang. Punakawan terdiri dari
empat tokoh, yakni Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Sunan Kalijaga membuat empat karakter ini untuk
menggambarkan sifat kebanyakan manusia dengan segala
kelebihan dan kekurangannya. Berikut ini kami ulas beberapa pesan-pesan Sunan Kalijaga lewat karakter Punakawan yang
tentunya perlu untuk kita ketahui.
2.
Semar
Sosok Semar ini merupakan tokoh inti dan pusatnya
dari keseluruhan punakawan serta menjadi asal usul
munculnya Punakawan. Nama Semar ini berasal dari kata Bahasa Arab “Samara”, yang artinya bergegas. Dalam cerita
pewayangan, tokoh Semar sangat disegani oleh siapa
saja, baik kawan maupun lawan. Bisa dikatakan juga, ia adalah sumber petunjuk untuk para kesatria bila mereka hendak
meminta nasehat dan petunjuk dalam peperangan. Oleh karena
itulah, Semar ini memiliki posisi yang sangat dihormati dalam pewayangan.Semar berwatak yang rendah hati, tidak
menyombongkan diri, jujur dalam berbicara, dan welas
asih terhadap sesamanya. Semar Ia juga memiliki
banyak kelebihan dibandingkan dengan yang lain tapi itu tak membuatnya lupa diri.
Dalam pewayangan, Semar adalah teladan dan panutan.
Jari telunjuknya yang
menuding ke bawah digambarkan sebagai karsa atau kehendak yang kuat untuk menciptakan sesuatu. Matanya yang sipit
melambangkan ketelitian dan keseriusan dalam
mencipta. Semar bertempat tinggal
di Karang Tumaritis, yang artinya Karang adalah tempat atau papan. Tumaritis artinya menerima segala
kehendak Allah SWT baik itu kehendak yang
baik maupun buruk. Sosok Semar menerima segala sesuatu secara legawa dan tanpa mengeluh. Padahal sejatinya Semar adalah sosok dewa
yang menjadi kakaknya Bathara Guru. Dalam jagad
pewayangan, Semar dahulunya adalah Bathara Ismaya yang turun ke dunia mayapada.
3.
Gareng
Gareng atau lengkapnya Nala Gareng merupakan anak
Semar yang berarti pujaan atau didapatkannya
dengan cara memuja. Nama Nala Gareng berasal dari kata Bahasa Arab “Nala Khairan”, yang berarti memperoleh
kebaikan. Gareng merupakan tokoh punakawan yang tak
pandai berbicara. Yang dikatakannya terkadang serba salah. Ia digambarkan sebagai seorang tokoh yang sangat lucu
dan menggelikan sehingga orang di sekitarnya menjadi
terhibur. Putra pertama Semar ini digambarkan memiliki kecacatan fisik. Matanya juling, kakinya pincang, dan
tangannya cacat.
Mata yang juling dimaknai untuk
menunjukkan manusia mesti memahami realitas kehidupan yang kadang tidak seperti keinginan. Kaki
yang pincang menggambarkan manusia harus hati-hati
dalam kehidupan. Dan tangan yang cacat disimbolkan manusia bisa berusaha semaksimal mungkin, namun tetap Tuhan
lah yang menentukan hasilnya.
4.
Petruk
Petruk Kanthong Bolong merupakan anak kedua Semar.
Nama Petruk berasal dari asal kata Bahasa Arab
“Fat ruk”, yang berarti tinggalkanlah. Dalam dunia pewayangan, tokoh Petruk digambarkan sebagai tokoh yang nakal
namun cerdas. Petruk Selain itu ia
juga digambarkan sebagai tokoh yang memiliki wajah yang manis dengan senyuman yang menarik hati, pandai
berbicara, dan watak yang lucu. Lewat
banyolan-lawakannya, ia suka menyindir segala ketidak benaran yang terjadi di sekitarnya. Secara
fisik, tokoh Petruk digambarkan dengan postur yang jangkung, baik itu badan hingga tangan dan kaki yang panjang, tubuh
yang langsing dan tinggi, serta hidung yang
mancung. Hal ini disimbolkan supaya manusia mempunyai pikiran yang panjang, tidak sekedar grusa-grusu, dan sabar. Bila sering
grusa-grusu (red tergesa-gesa) bisa jadi akan
menimbulkan penyesalan di akhir.
5.
Bagong
Bagong adalah bungsunya Semar. Nama Bagong berasal
dari kata Bahasa Arab “Al ba gho ya” yang
berarti perkara buruk. Diceritakan, bahwa Bagong adalah tokoh pewayangan yang diciptakan dari bayangan Semar. Oleh
karenanya, Bagong tumbuh dengan tubuh gemuk dan
tambun seperti Semar.Meski demikian, Bagong tumbuh seperti kedua saudaranya yang suka bercanda dan melucu. Ia
bahkan suka bercanda saat menghadapi persoalan
yang teramat serius, memiliki sifat lancang, dan suka berlagak cuek masa bodoh.
Bagong Sosok Bagong dalam cerita punakawan
digambarkan sebagai contoh manusia yang
sesungguhnya. Meski Petruk mempunyai kelebihan akan keindahan serta kesempurnaan, Bagong lah yang justru memiliki sifat
kekurangan. Seperti inilah manusia, memiliki
kelebihan dan kekurangan, sehingga Bagong dianggap sebagai manusia sesungguhnya. Untuk itulah Bagong bersifat sederhana,
sabar, dan tidak terlalu kagum dengan kehidupan
dunia. Suatu hal yang mestinya juga harus dilakukan oleh manusia seutuhnya. Itulah pesan-pesan yang ditinggalkan Sunan Kalijaga
lewat karakter penokohan Punakawan. Sunan
Kalijaga berusaha mengingatkan karakter manusia seutuhnya, supaya kita mengingat Allah SWT yang Maha Menciptakan. Oleh
karenanya, dengan kelebihan dan kekurangan telah
yang diberikan, maka tinggal kita saja bagaimana seharusnya bias bijak menggunakannya. Dikutip dari berbagai sumber[10]
C.
Nilai Pendidikan Karakter dalam
Tembang Ilir-Ilir
1.
Makna simbol bocah angon
Lir-ilir
lir-ilir
Tandure
wus sumilir
Tak
ijo royo-royo
Tak
sengguh temanten anyar
Bocah
angon bocah angon
Penekni
blimbing kui
Lunyu-lunyu
penekno
Kanggo
mbasuh dodo iro
Dodo
iro dodo iro
Gumitir
bedah ing pinggir
Dondomono
jlumatoni
Kanggo
sebo mengko sore
Mumpung
padang rembulane
Mumpung
jembar kalangane
Yok
surako surak iyo
Frase Bocah Angon dalam
bahasa Indonesia setara dengan anak gembala. Kamus Besar Bahasa
Indonesia mengartikan kata gembala sebagai 1) penjaga atau pemelihara binatang
ternak, 2)
penjaga keselamatan orang banyak.[11]
Sedangkan kata anak
yang mendahului kata gembala yang dimaksudkan di sini generasi muda
atau siapa saja yang berjiwa muda. Artinya, dapat bertanggung jawab menjaga
keselamatan orang banyak
(bangsa) itu merupakan sebuah tanggung jawab generasi muda serta semua yang
berjiwa muda.
Generasi muda
dengan jiwa mudanya akan mampu menjadi ujung tombak sebuah bangsa untuk
memperkuat
pertahanannya dan memperkokoh pembangunannya. Baik dari segi materi
seperti perekonomian bangsa maupun non materi seperti moral dan karakter
bangsa. Sebab,
di masa muda kapasitas energi seseorang sangatlah tinggi, yang sangat eman jika
diabaikan begitu
saja tanpa dimanfaatkan dan didayagunakan dengan tepat.
Belajar dari pengalaman
golongan tua akan membuat golongan muda
bisa menentukan kebijakan yang lebih baik dan agar tidak mengulang kesalahan
yang sebelumnya
dilakukan oleh golongan tua. Sehingga, energi kaum muda harus senantiasa
beriringan
dengan pengalaman kaum tua, untuk membangun kualitas bangsa dan menyongsong baldatun
thayyibatun (negeri
yang aman sentosa). Hal itu sebagaimana yang dicita-citaka
Nabi Ibrahim dalam doanya. Artinya: “Tuhanku,
jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa dan berikanlah rezeki dari
buah-buahan
kepada penduduknya yang beriman (di antara mereka) kepada Allah dan hari
kemudian”.
Sementara frase anak
gembala di sini adalah sebuah simbol yang menandakan seorang pemimpin
sejati. Anak gembala memiliki sifat ulet dan sangat bijak ketika menggembalakan
ternaknya.
Bertolak dari
simbol di atas, didapati pendidikan karakter bagi sosok pemimpin sejati.
Pemimpin sejati
seyogyanya memiliki jiwa gembala yang sanggup ngemong, mengayomi,
melindungi, dan
mensejahterakan bangsa. Tentu saja anak gembala ini boleh
seorang dokter, seniman, sastrawan, kiai, jendral, atau siapapun saja
yang memiliki daya angon, sebagaimana
disebutkan di atas.
Seberat apapun tugas
yang dipikul, setinggi apapun gunung yang didaki, securam apapun jurang
yang dituruni, selicin dan setajam apapun medan yang dilalui, seorang pemimpin
harus tetap
menjadi pamong bagi rakyatnya. Ia harus tetap mengutamakan kepentingan bangsa
di atas kepentingan
pribadinya. Permasalahan
bangsa yang kompleks pun tidaklah menjadi kendala bagi sosok pemimpin
berjiwa gembala
untuk berupaya menemukan solusinya. Dengan keuletannya, seorang pemimpin
sejati akan
dapat mengatasi permasalahan yang melanda bangsa. Dan dengan kebijakannya,
seorang pemimpin
sejati akan dapat memilah solusi yang tepat sekiranya tidak merugikan atau
menyengsarakan
bangsa.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode Penelitian
1.
Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian
bibliografis, karena berusaha mengumpulkan data, menganalisa dan
membuat interpretasi tentang pemikiran tokoh, dalam hal ini adalah pemikiran
Sunan Kalijaga tentang pendidikan Islam, bila dilihat dari tempat
penelitian ini dilakukan maka penelitian ini tergolong dalam jenis penelitian
kepustakaan. Riset kepustakaan ini dalam rangka mencari data yang valid agar dapat
digunaakan untuk mengumpulkaan data-data yang penulis maksudkan serta
pembahasan dan penganalisaannya secara sistematis. Sedangkan
pendekatan yang dipakai adalah menggunakan pendekatan Histori Filosofis
karena objek material dari penelitian adalah pemikiran tokoh yang telah
meninggal.[12]
2. Sumber
data
Karena penulisan skripsi ini dalam kategori
penelitian literer, maka seluruh data penelitian dipusatkan pada kajian buku
yang memiliki keterkaitan dengan pokok bahasan. Sumber data
tersebut dapat dibagi menjadi dua, yaitu sumber data primer dan sumber
data sekunder. Sumber data primer yaitu buku karya Purwadi tentang “Sejarah Sunan Kalijaga Sintesis Ajaran Wali
Sanga Vs Seh Siti Jenar” yang
berisi tentang sejarah perjuangan Sunan Kalijaga hingga akhir hayatnya.
Buku karya Widji Saksono tentang “Mengislamkan tanah Jawa telaah atas metode dakwah Walisongo”
yang berisi tentang metode dakwah Sunan Kalijaga,
alat dan
fasilitas dakwah. Buku karya Achmad Chodjim tentang “Mistik dan makrifat Sunan Kalijaga”
yang berisi tentang sejarah singkat Suan Kalijaga,
syariat dan belimbing. Buku karya Ridin Sofwan tentang “Islamisasi dai Jawa Walisongo penyebar Islam di Jawa
menurut penuturan babad”
yang berisi tentang sasaran dakwah, tujuan dakwah, dan
metode dakwah. Sumber data sekunder meliputi : Ilmu Pendidikan Islam,
Pendidikan Agama Islam, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan
Masyarakat, Filsafat Pendidikan Islam, dan lain-lain.
3. Metode
Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dengan cara mengumpulkan
bahan-bahan bacaan atau pustaka yang terdiri dari dokumen-dokumen,
majalah-majalah, dna buku-buku yang berisi tentang Sunan
Kalijaga seperi ini disebut Metode Dokumentasi yaitu mencari dan menggali data
dari bahan-bahan bacaan atau pustaka yang berkaitan dengan Pendidikan
Islam menurut pemikiran Sunan Kalijaga.
4. Metode
Analisis Data
Data yang terkumpul dalam penelitian ini dianalisis
dengan metode Content Analysis
atau metode Kajian Isi. Menurut Holsti dikutip dari Moleong,
kajian isi adalah teknik apapun yang digunakan untuk
menarik kesimpulan melalui usaha menemukan karakteristik pesan dan
dilakukan secara obyektif dan sistematis. Content analysis memut langkah-langkah
sebgai berikut:
Mengklasifikasi tanda-tanda yang dipakai dalam suatu komunikasi (pesan)
menggunakan kriteria tertentu sebagai prediksi, selain dengan metode
analisa isi juga digunakan metode perbandingan, setelah mengetahui
langkah-langkah untuk melakukan analisis dengan menggunakan
metode di atas maka langkah-langkaah operasional yang akan
dilakukan untuk menganalisis peneltian ini adalah mengklasifikasikan
pemikiran Sunan Kalijaga tentang pendidikan Islam, kemudian
kriteria dipakai sebagai dasar klasifikasi adalah dengan mengungkapkan
kesamaan pemikiran Sunan Kalijaga atau yang memperkuatnya dengan sumber-sumber yang berkaitan,
sebagai langkah akhir adalah membuat kesimpulan berdasarkan kriteria
yang ada.[13]
[1]
Ahmad Mubarok and others, “Nilai-Nilai
Pendidikan Karakter Dalam Syair Lir-Ilir Karya Sunan Kalijaga Dan Relevansinya
Dengan Pendidikan Islam” (UIN SUNAN KALIJAGA, 2014),
http://digilib.uin-suka.ac.id/11214/.
[2]
Ibid.
[3]
Ibid.
[4]
Fatah Yasin, Dimensi-Dimensi
Pendidikan Islam, (Malang: UIN Malang Press, 2008), Hal. 110-111.
[5]
Ibid.
[6]
Ibid.
[7]
M. Syaifuddien Zuhriy, “Budaya Pesantren Dan
Pendidikan Karakter Pada Pondok Pesantren Salaf,” Walisongo: Jurnal
Penelitian Sosial Keagamaan 19, no. 2 (2011): 287–310.
[8]
TUTIK SUPIYAH, “PENDIDIKAN ISLAM MENURUT PEMIKIRAN
SUNAN KALIJAGA” (Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2007),
http://eprints.ums.ac.id/5564.
[9]
“F. Bab II.pdf,” n.d.
[10]
“Inilah Pesan Sunan Kalijaga Lewat Karakter
Punakawan.pdf,” n.d.
[11]
“Inilah Pesan Sunan Kalijaga Lewat Karakter
Punakawan(1).pdf,” n.d.
[12]
SUPIYAH, “PENDIDIKAN ISLAM MENURUT PEMIKIRAN
SUNAN KALIJAGA.”
[13]
Ibid.
0 komentar:
Posting Komentar